Kamis, 23 Februari 2012

JANGANLAH KIRANYA KASIH DAN SETIA MENINGGALKAN ENGKAU!


Oleh: Sugiman

Di tengah maraknya berbagai kasus yang terjadi di negara Indonesia saat ini (abad ke-21), mengoreskan luka yang mendalam bagi mereka masih memihak pada suara hati nurani. Dunia seolah-olah dipenuhi dua kelompok manusia yang sedang pedagang, masing-masing mereka menjajakan jualannya. Semangat dagang mereka tidak berbeda satu sama lain. Mereka sama-sama tidak perduli, mau hujan ribut, maupun badai yang ganas sekalipun tidak menjadi penghalang (tidak dihiraukan), yang penting jualannya laku terjual kepada para pembeli. Persaingan di antara kedua kelompok pedagan itu pun tidak terhindarkan, karena memang itulah resiko menjadi seorang pedagang.

Apakah ada beda keduanya? Oh tentu ada dong. Bahkan perbedaan itu secara gamblang diperlihatkan oleh masing-masing kelompok pedagang. Terserah, Anda mau percaya atau tidak, bahwa fakta atau realita (kenyataan sesungguhnya) di lapangan memperlihatkan, dagangan yang paling laku atau laris terjual adalah kekuasaan, kekuatan, kekerasan, intimidasi, diskriminasi, kebohongan, korupsi, ketidakadilan, penindasan, penolakan dst. Kalau Anda punya kekuasaan, kekuatan, apalagi kemampuan untuk melakukan semuanya, Anda pasti didengar, diperhatikan, dihormati, dan kehendak Anda dilakukan. Bahkan kehadiran Anda pun dinanti-nantikan, di bayar lagi. Enak kan? Oh enak dong. Perhatikan saja para politikus yang ada di Indonesia! Katanya sih mereka itu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi nyatanya, mereka anggota Dewan Penindas, Pemeras, Pemaksa, Pecundang, Pencuri, Perampok, Pembohong, Pemalas, Penodong, Penipu, dan bahkan Pembunuh Rakyat. Jadi singkatannya apa dong? Singkatannya adalah D11P1R. Kok bisa? Kan P nya ada 11 dan bahkan bisa nambah lagi, sedangkan R nya tetap satu. Tidak peduli sumpah-serapah dari orang-orang yang tertindas, teraniaya, menderita, yang penting enak, yaitu dibayar, masuk tv, masuk koran / populer, diperbincangkan di mana-mana. Mulai dari kantor Presiden hingga ke kebun karet dan bahkan hingga ke liang kubur.

Coba bandingkan dengan pedagang yang satunya! Mereka tertindans/ teraniaya, miskin, terabaikan, tidak memiliki tempat tinggal, dan bahkan melarat. Terus bagaimana caranya mereka dapat uang? Mereka harus membanting tulang dulu, mencangkul sawah, menjadi buruh kasar, menjadi pedagang kakilima, mendorong gerobak untuk mengumpulkan barang-barang bekas, sampah, dan barang-barang yang bisa dijual lainnya. Mereka mempertaruhkan hidupnya di jalanan-jalan, mengadu nasib tinggal di ibukota. Bahkan tidak jarang mereka merasakan kejamnya ibukota yang melebihi ibu tiri. Ketika terjadi kecelakaan, jarang ada orang yang mau menolong. Banyak alasan yang membuat mereka tidak mau menolong. Misalnya takut dijadikan saksi oleh polisi, takut dijadikan tersangka, apalagi kalau korban sudah meninggal. Selanjutnya, mereka tidak ada waktu untuk menolong karena kesibukan masing-masing. Bahkan, kadang-kadang dalam satu kompleks perumahan pun tidak saling kenal, karena masing-masing sibuk dengan dirinya.

Berbeda jauh dengan suasana dan keadaan saat saya masih di kampung, meskipun jarank antara kampung yang satu dengan yang lainnya jauh, tetapi masih saling kenal dan bisa akrab. Ketika terjadi kecelakaan atau salah seorang meninggal di kampung tertentu, beritanya begitu cepat tersebar dari mulut ke mulut. Ya itu kan karena sudah ada handphone (HP)! Siapa bilang ada handphone (HP). Berita atau pesan itu disampaikan langsung dari orang-orang yang rela berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi sekarang sudah enak, karena hampir masing-masing keluarga punya sepeda motor.

Lalu bagaimana kaitannya dengan tema di atas? Saya melihat, bahwa kekejaman, kejahatan, ketidakadilan, termasuk 11P yang disebutkan di atas (Penindas, Pemeras, Pemaksa, Pecundang, Pencuri, Perampok, Pembohong, Pemalas, Penodong, Penipu, dan bahkan Pembunuh) terjadi karena tidak ada kasih dan setia. Penulis Amsal mengatakan bahwa mereka telah ditinggalkan oleh kasih dan setia. Emang harus setia pada siapa? Ya, tentu setia pada Sang Pencipta. Itulah inti perkataan orang bijak (berhikmat) dalam Amsal 3:1-10. Tapi kok penulis Amsal 3:1 mengatakan: “Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku”? Memangnya dia Tuhan (Sang Pencipta)? Penulis Amsal menjawab demikian: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian” Amsal 9:10.

Membiarkan kasih dan setia meninggalkan kita adalah sama maknanya membiarkan Tuhan meninggalkan kita. Implikasinya sangat berat. Mengapa? Sebab kasih dan setia yang sejati itu harus dibuktikan melalui situasi ketika kecenderunmgan untuk tidak mengasihi dan tidak setia itu, jauh lebih besar dari pada dorongan untuk mengasihi dan setia. Bentuk kasih yang ditawarkan macam-macam. Paling tidak ada tiga macam jenis kasih yang sering kita saksikan di dalam dunia ciptaan-Nya, sekalipun kita jarang dan bahkan tidak pernah menyadarinya. Kasih yang pertama adalah “kasih karena”. Kita mengasihi seseorang karena dia memang layak atau pantas untuk dikasihi. Kasih yang kedua adalah “kasih supaya”, kita mengasihi seseorang supaya kita juga dikasihi sebagaimana yang telah kita berikan. Ketika adalah “kasih walaupun”, yaitu kita mengasihi seseorang walaupun yang bersangkutan memiliki banyak kekurangan, tidak pantas atau tidak layak untuk dikasihi. Kasih yang ketiga itulah yang Tuhan tawarkan kepada kita. Walaupun kita sering disakiti, dikhianati, dan ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi, tetapi yakinlah Tuhan tidak pernah meninggalkan kita seorang diri. Karena Dia sangat peduli dan setia kepada orang-orang yang tetap setia mengasihi-Nya. 

Selasa, 21 Februari 2012

“MEMAAFKAN TUHAN”


Oleh: Sugiman

Tuhan yang mahakasih, mahakuasa, mahaadil, mahabaik, dan maha di atas segalanya. Tetapi mengapa semuanya itu harus dibenarkan di hadapan manusia? Bahkan telah disepakati oleh tradisi filsafat dengan agama-agama teistik. Manusia melihat, bahwa Tuhan yang maha di atas segalanya itu menjadi jaminan atas hidupnya. Sehingga apapun yang dilakukan dan yang akan dialaminya tidak terluput dari pengamatan mata Sang Maha. Tetapi realita memperlihatkan sesuatu yang sangat berbeda dari harapan manusia sebelumnya. Kedua bola mata kita mulai melihat keterbatasan dan kelemahan Tuhan sebagai Sang Maha di atas segalanya.

Berbagai kejahatan dan penderitaan yang dialami manusia memaksanya untuk menyudutkan eksistensi Tuhan dalam hidupnya. Tuhan yang mahakasih, mahakuasa, mahaadil, mahabaik dan maha di atas segalanya, tetapi serentak dengan semuanya itu, memperlihatkan eksistensi Tuhan sebagai yang terbatas dan lemah. Dengan kata lain, manusia menjadikan Tuhan sebagai pusat satu-satunya dalam hidupnya. Tetapi sekaligus, manusia berusaha untuk melepaskan dirinya dari genggaman tangan-Nya. Kekecewaan dan sakit hati yang mendalam terhadap kemahakuasaan Tuhan telah membuat manusia merasa enggan dan tidak perlu mengakui dan menerima-Nya sebagai Yang Kuasa.

Berbagai penderitaan dan kejahatan telah mendakwa manusia. Tuhan yang diharapkan sebagai penolong ternyata hanya duduk diam dari tempat ketinggian-Nya dan membiarkan semua kejahatan itu terjadi dalam hidup manusia. Bukankah Tuhan telah menciptakan dunia ini dan segala isinya dengan kuasa-Nya? Tetapi mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan dan kejahatan terjadi dalamnya? Apakah Tuhan tidak mampu menciptakan alam semesta ini tanpa penderitaan dan kejahatan? Apakah Tuhan tidak dapat mencegah semua penderitaan tanpa menyakiti dan mengorbankan manusia? Apakah Tuhan tidak mau, atau tidak dapat? Justru yang ada penderitaan “semakin melimpah”. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit di jawab.

Mengapa ada kanker di dunia? Mengapa pesawat terbang jatuh? Mengapa anak kecil yang belum sempat melihat dunia dan segala isinya harus meninggal? Mengapa bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, banjir bandang dan kejahatan lainnya dialami manusia? Korban jiwa pun tidak terhitung jumlahnya? Apakah Tuhan tidak merasa kasihan melihat seorang ibu yang menangis hingga menjadi gila karena anak-anak dan suaminya meninggal dunia ketika tsunami Aceh, Nias dan Mentawai? Apakah Tuhan tidak prihatin melihat seorang anak yang kehilangan keluarganya akibat tanah longsor, letusan gunung berapi, dan banjir bandang? Apakah Tuhan tidak mahakuasa? Jika Tuhan tidak mahakuasa, berarti Ia bukan Tuhan?

Sungguh tidak ada jawaban yang memuaskan. Bahkan begitu banyak buku-buku yang hasilkan manusia. Berbagai pendekatan pun telah dilakukan untuk menjawab masalah di atas. Penjelasan yang mendalam dan ilmiah juga telah diberikan oleh manusia. Tetapi pada bagian akhir, ketika kita sudah menutup bidang permainan dan merasa bangga atas kecerdasan yang kita miliki. Namun, penderitaan, amarah, sakit hati, perasaan kecewa dan tidak adil tetap ada, dan bahkan akan terus ada.

MacLeish menuliskan demikian: “Manusia tergantung pada Tuhan dalam segala hal, Tuhan tergantung pada manusia dalam satu hal. Tanpa cinta manusia, Tuhan tidak pernah ada sebagai Tuhan. Dia hanya akan ada sebagai pencipta, dan cinta adalah sesuatu yang tak dapat diperintahkan oleh siapapun, tidak juga oleh Tuhan sendiri. Cinta adalah karunia bebas dan bukan apa-apa. Cinta adalah sesuatu yang paling individual, paling otonom, dan paling bebas ketika ditawarkan, meskipun ada penderitaan, ketidakadilan, dan kematian”.  Dari apa yang dituliskan oleh MacLeish di atas memperlihatkan betapa pentingnya ketulusan cinta. Ketulusan cinta tidak pernah menuntut supaya ada kesempurnaan, melainkan menerima apa yang dianggap tidak sempurna. Itulah cinta.

Demikian juga dengan kita, yakni kita tidak mencintai Tuhan karena Dia sempurna. Kita mencintai Tuhan bukan karena Dia melindungi kita dari bahaya dan menjauhkan kita dari hal-hal buruk. Kita juga tidak mencintai Tuhan karena takut kepada-Nya atau takut kalau Dia akan menyakiti kita. Melainkan kita mencintai Tuhan karena Dia adalah Tuhan, karena Dia adalah pencipta dari setiap keindahan dan keteraturan di sekitar kita. Dengan demikian, kita mencintai Tuhan karena Dia adalah bagian terbaik dalam hidup dan dunia kita. Itulah makna terdalam dari mencintai. Cinta bukan kekaguman atas kesempurnaan, tetapi penerimaan atas orang yang tidak sempurna dengan segala kekurangannya. Hanya mereka yang mencintai dan menerima orang itu apa adanya akan membuat hidupnya jauh lebih baik dan lebih kuat dari yang lainnya.

Jika kita mencintai Tuhan dengan hati yang tulus, pastilah kita tidak melihat kekurangan, ketidaksempurnaan, dan kelemahan-Nya. Karena cinta yang tidak tulus itulah yang membawa kita kepada penghakiman dan menyudutkan keberadaan Tuhan dari pandangan kita. Cinta yang tulus itu tidak menuntut kesempurnaan, melainkan menerima ketidaksempurnaan itu apa adanya. Justru karena penerimaan apa adanya itulah, seseorang akan menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan kuat dari pribadi yang lain. Karena itu, maafkanlah Tuhan jika menurut Anda Dia tidak menciptakan dunia yang lebih baik! Maafkanlah dunia yang tidak sempurna di mana penderitaan itu terjadi. Teruslah hidup mengulurkan tangan kepada sesama meskipun penderitaan akan selalu ada.

Apakah Anda mampu dengan cinta yang tulus menerima keberadaan dunia yang telah membuat Anda kecewa, sakit hati karena ketidaksempurnaan-Nya, sebuah dunia di mana ketidakadilan, kekejaman, penyakit dan kejahatan, gempa bumi dan kecelakaan, atau berbagai tragedi lainnya? Karena hanya dunia ini adalah dunia satu-satunya yang kita miliki. Dapatkan Anda memaafkan dan mencintai orang-orang yang ada di sekeliling Anda, sekalipun mereka sudah menyakiti Anda karena mereka juga tidak sempurna?

Dapatkan Anda memaafkan dan mencintai Tuhan, sekalipun Anda tahu bahwa Dia tidak sempurna, yaitu membiarkan Anda terjatuh, mengalami kekecewaan yang mendalam, dan membiarkan Anda mengalami berbagai tragedi, nasib buruk, kekejaman, ketidakadilan dan kejahatan lainnya, yang terjadi di dalam dunia ciptaan-Nya? Jika Anda dapat melakukan semuanya itu, maka dapatkah Anda menyadari bahwa kemampuan yang Anda miliki saat memaafkan Tuhan adalah kemampuan yang Tuhan berikan kepada kita, sehingga kta mampu hidup secara utuh, berani, dan bermakna pada dunia dan Tuhan yang meurut kita tidak sempurna.

KARENA ITU MAAFKANLAH TUHAN JIKA ANDA MERASA DIA DAN DUNIA INI TIDAK SEMPURNA, DAN ITULAH KEMAMPUAN YANG DIBERIKAN TUHAN KEPADA MANUSIA UNTUK MENEMUKAN HIDUP LEBIH BERARTI, BAIK BAGI SESAMA, ALAM SEMESTA DAN TERLEBIH BAGI TUHAN.

Senin, 20 Februari 2012

FRON PEMBELA ISLAM (FPI) DAN KEKERASAN


Oleh: Sugiman


Mulai dari berdirinya Fron Pembela Islam (FPI) di Indonesia tahun 1998 hingga tahun 2012 selalui diwarnai dengan aksi anarkis dan berujung pada kekerasan yang merugikan banyak pihak. Mari lupakan tindakan mereka (FPI) 1998 – 2009, tetapi mulailah di tahun 2010 – 2012, dan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa negara Indonesia tidak butuh FPI, yang gemar melakukan tindakan-tindakan kekerasan, mmembuat keonaran, melakukan penolakan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya. Seolah-olah kekerasan dan perusakan yang dilakukan mencerminkan eksistensi dari FPI itu sendiri. Misalnya, tanggal 17 Juli 2010 Enam dari sembilan pelaku bom molotov ditangkap polisi di Singkawang pada hari raya waisak tanggal 28 Mei 2010 lalu. Mereka diduga merupakan anggota FPI. Satu diantaranya adalah anak dari ketua FPI cabang Singkawang, H Elyas.

Selain itu, 8 Agustus 2010, ratusan massa FPI menyerang jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Indah Timur pukul 09.00 pagi di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya, 9 Agustus 2010, ketua FPI cabang Solo dan Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir ditangkap polisi atas terorisme. Selanjutnya, 4 Maret 2011, massa FPI membuat onar dan membakar markas Ahmadiyah di Kecamatan Lubuk PinangKabupaten Muko-MukoBengkulu. Selanjutnya, pada tanggal yang sama dan kasus yang sama juga terjadi di Kota PolewaliKabupaten Polewali MandarSulawesi Barat, yaitu massa FPI membakar warung makan yang pemiliknya anggota Jemaah Ahmadiyah. Selanjutnya, 8 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik Rudi dan Hajjah Adriani. Kejadian serupa juga terjadi di Makassar, yaitu 12 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik Restoran Topaz Makassar. Selanjutnya, 13 Agustus 2012 massa FPI membuat onar dan membakar markas Ahmadiyah di Makasar. Selanjutnya, 14 Agustus 2011, massa FPI merusak warung makan milik seorang ibu di Ciamis. Selanjutnya, 23 September 2011, massa FPI mengancam serang pernikahan berlangsung di Gereja Pantekosta Jatinangor.

Apakah sudah berhenti sampai di tahun 2011? Tidak. Pada tanggal, 12 Januari 2012, massa FPI merusak dan melakukan kericuhan di Gedung Kemendagri. Selanjutnya, 10 Februari 2012, ketua FPI cabang Yogyakarta Bambang Teddy diajukan Erna Riyanti atas kasus pemukulan dan meludahinya di kantor kepolisian. Selanjutnya, 10 Februari 2012, polisi tetapkan lima tersangka termasuk Ketua FPI cabang Banten Ujang (KH Ujang Muhamad Arif) terkait kasus insiden Ahmadiyah di Cikeusik. Selanjutnya, cuma itu yang saya ketahui melalui media-media yang saya ikuti. Menurut hemat saya, dengan melihat bukti-bukti di ataslah, masa dari suku Dayak menolak kedatangan dan kehadiran rombongan FPI tanggal 11 Februari 2012 di Kalimantan Tengah. Penolakan terhadap keberadaan FPI tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah, tetapi juga di Jakarta, yaitu tanggal 14 Februari 2012, di mana Bhagapad Gita, Koordinator aksi "Indonesia Tanpa FPI" dipukul oleh keempat simpatisan FPI. Berdasarkan bukti-bukti di atas, apakah penolakan yang dilakukan oleh masa dari suku salah? Tentu tidak. Justru itulah alasan utama bahwa negara Indonesia tidak butuh FPI, melainkan kenyamanan, kedamaian, ketentraman, keharmonisan untuk hidup berdampingan, dan itulah yang dirindukan atau dinanti-nantikan terjadi di Indonesia.

Sudah saatnya kita menjadikan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum FPI sebagai masalah bersama. Menggunakan berbagai “atribut kesucian” supaya dibenarkan saat melakukan tindakan-tindakan kekerasan adalah cara beriman yang keliru. Sangat keliru! Karena sejauh yang saya ketahui, Nabi Muhammad SAW pun tidak pernah menerapkan cara-cara dakwah seperti yang dipahami FPI. Melainkan mencontohkan dakwah itu kepada umatnya dengan berbagai cara, yaitu baik secara lisan maupun tulisan dan perbuatan kasih. Dimulai dari istri dan keluarganya, kemudian diperluas kepada  teman-teman karibnya, hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu pun merasakan dakwah Sang Nabi. Di antara raja-raja yang menerima surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran), dan raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Semuanya itu dilakukan Nabi dengan cara damai, karena memang tujuan dakwah itu adalah untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan diakhirat, di ridai Allah.

Pertanyaan untuk FPI: bagaimana kita dapat mengatakan bahwa hubungan kita baik dengan Tuhan, sementara kita menindas dan menyakiti sesama kita? Apakah mungkin Tuhan menyetujui tindakan-tindakan kekerasan? Saya kira tidak. Tindakan yang demikian hanya sebuah usaha manusia untuk memuaskan diri sendiri dan kelompok, tetapi menolak printah Tuhan. Karena bagi saya, Tuhan menciptakan manusia bukanlah untuk disiksa, disakiti, diintimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Melainkan untuk satu tujuan, yaitu supaya manusia mengasihi Tuhan. Mmengasihi Tuhan hanya akan terjadi jika kita mengasihi keberadaan sesama.

Jika demikian, apakah Sang Nabi menyetujui cara-cara kekerasan seperti yang diperlihatkan oleh oknum-oknum FPI? Saya kira tidak, apalagi Tuhan. Menggunakan atribut-atribut keagamaan sebagai simbol kesucian dan kebenaran hidup keagamaan, yang ditunjukan melalui tindakan kekerasan hanyalah kemunafikan belaka. Menurut hemat saya, Islam itu tidak membutuhkan pembela. Memang apanya yang mau dibela? Memang yang lainnya musuh? Apakah Islam lemah sehingga membutuhkan pembelaan? Saya kira tidak. Trus apanya yang mau dibela? Atau mau membela Tuhan? Apakah Tuhan membutuhkan pembelaan dari manusia? Saya kira tidak juga. Justru kita yang sangat membutuhkan pertolongan dari Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Tindakan membela Tuhan hanya akan menjadikan Tuhan sebagai pribadi yang lemah dan tidak berdaya. Sangat keliru jika Tuhan harus dibela.

Bagi saya, agama hanyalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan atau keyakinan setiap individu kepada Tuhan, dan tidak lebih dari itu. Itu sebabnya, agama tak ubahnya sebuah bengkel guna memperbaiki kehidupan manusia yang rusak oleh keinginan nafsunya, termasuk kerusakan moral karena gemar akan tindakan kekerasan, penindasan, keserakahan, dan penolakan atas sesamanya. Merusak yang sudah baik bukanlah tugas atau fungsi dari sebuah agama. Bengkel yang baik dan berkualitas akan dengan sendirinya didatangi oleh banyak orang tanpa harus ada pemaksaan, apalagi tuntutan mutlak. Demikianlah juga agama, jika agama sudah tidak mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat, nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, maka apa baiknya agama? Agama seharusnya menjadikan hidup manusia itu jauh lebih baik dari yang dunia tawarkan (anti agama), menuntun mereka ke jalan yang benar, sehingga mereka menemukan sumber air yang jernih, yang menyejukan hati, serta memaknai hidup ini lebih berarti dan abadi, yaitu tanpa kekerasan dan diskriminasi. Seharusnya itulah tugas agama.

Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan sebuah masalah. Kekerasan hanya sebuah cara konyol dan bodoh, yang sering dilakukan oleh mereka yang tidak bisa berpikir kreatif dalam menemukan jalan terbaik dan bijaksana. Sempitnya pemikiran dan pemahaman seseorang terhadap esensi atau nilai-nilai ajaran agamanya akan melihat orang lain sebagai lawan yang menakutkan (musuh), karena itu tidak jarang seseorang atau kelompok mempropokasi yang lainnya supaya bertindak anarkis.[1] Alasan yang lain, disebabkan karena mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang disiratkan dalam ajaran agamanya.[2]Akibatnya, agama sering dijadikan sebagai alat yang memotivasi untuk melakukan kekerasan, dan sekaligus sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan kekerasan itu.[3]Sangat menyedihkan. Tindakan-tindakan kekerasan itu juga tidak terlepas dari kekeliruan para pemimpi agama itu sendiri. Misalnya, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan, bahwa agama tidak ubahnya organisasi massa yang berlomba-lomba memperbanyak pengikut. Umat beragama kini lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Seharusnya, para pemimpin sebuah agama lebih memikirkan hal itu. Selain itu, Ahmad Syafi’i Ma’arif dan Ulil Abshar Abdalla juga mengatakan, bahwa agama sering dipandang sebagai mesin politik oleh pemerintah Indonesia, dan kadang-kadang hanya menjadi alat bagi segelintir orang untuk mencapai kekuasaan atau tujuan politiknya.[4]Pernyataan ini mengindikasikan, bahwa agama hanya dipahami sebagai simbol, kemudian mengabaikan esensinya. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda lebih menjunjung tinggi simbol-simbol atau soal esensi? Saya tidak tahu, dan silahkan jawab sendiri di dalam hati masing-masing!

Salam damai.


[1] bnd. Flip P.B.Litaay, Pemikiran Sosial Johannes Leimena tentang Dwi-Kewargaan di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, 2007), 1.
[2] Moses Huwae, “Kekerasan sebagai Dampak Pengabaian terhadap Keadilan dan Kebenaran Dilihat dari Matius 27:11-26” dalam Jurnal Lensa Vol. 1 (Cipanas: STT Cipanas, 2007), 52.
[3] Lih. ST. Sularto, “Kesalehan Sosial Bangkrut” dalam Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010, hal 1
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Masa Depan Kebebasan Dan Kerukunan Beragama Di Indonesia” dalam Tore Lindholm dkk, Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi Prinsip-Prinsip dan Praktek (Yogyakarta: Kanisius, 2010), XI-XII; bnd. Ulil Abshar Abdalla, “Aparat Dalam Pemerintah Pandangannya Masih Konservatif”, dalam Berita Oikomene: Memperluas Wawasan Keesaan dan Kebangsaanedisi Maret (Jakarta: PGI, 2010), 9.


KASUS ANTASARI AZHAR BAK PHOTOSHOP


Oleh: Sugiman

Photoshop (software) merupakan perangkat lunak pengelola gambar yang paling diminati dan menjadi pilihan utama oleh sebagian besar para grafis desainer maupun pecinta seni mengolah gambar untuk menuangkan ide-ide mereka. Dalam photoshop terdapat pallet. Pallet berisi tentang informasi mengenai image (gambar) yang kita kerjakan, dan salah satu tool (alat) yang ada di dalam palletbox (kotak pallet) adalah layer. Layer memiliki fungsi yang sangat penting. Dengan layer kita bisa mengedit atau merekayasa foto tanpa menganggu foto yang ada di dalam layer lainnya. Foto yang dihasilkan pun hampir tidak bisa dibedakan dengan foto yang asli lainnya. Namun sebenarnya, bila kita perhatikan dengan teliti, itu adalah bukan foto yang dihasilkan secara langsung dari kamera, melainkan gabungan dua foto dengan pemandangan yang berbeda. Tetapi tidak semua orang dapat melihatnya, kecuali mereka yang tahu dan ahli di bidangnya.

Jika demikian, apa hubungannya antara kasus yang menimpa Antasari Azhar dan photoshop? Kasus Antasari Azhar memang menyimpan banyak kejanggalan atau pertanyaan yang belum terjawab dengan tuntas hingga saat ini. Sebaliknya, kejangalan-kejanggalan atau pertanyaan itu dibiarkan begitu saja. Paling tidak ada lima kejanggalan yang masih menyimpan misteri:
  1. Pelongsong peluru yang ditemukan di tempat kejadian tidak sesuai dengan peluru senjata sebenarnya.
  2. Bukti-bukti komunikasi antara Antasari Azhar dan N. Zungkarnain melalui SMS juga tidak diperlihatkan secara detail kepada publik. Bahkan hingga saat ini, SMS itu tidak ada pembuktian secara sah, yaitu apakah memang SMS itu benar-benar dari pelaku (Antasari Azhar) kepada korban (N. Zungkarnain) atau bukan.
  3. Seorang perempuan yang bernama Rani Juliani, yang dikatakan ada kaitannya dengan kasus di atas pun tidak pernah dihadirkan di depan publik atau di ruang sidang secara bersamaan.
  4. Penetapan Antasari Azhar sebagai tersangka, juga terkesan janggal, yaitu di mana “tersangka langsung diisolasi secara ketat atau dipendam suara kebenarannya”.
  5. Ketika kuasa hukum tersangka mengajukan banding kepada MA terkesan dipandang sebelah mata. Sehingga suara itu diabaikan begitu saja, dianggap seperti sampah.

Bertolak dari lima kejanggalan di atas, saya meragukan kebenaran hukum yang diberlakukan terhadap Antasari Azhar. Bahkan saya berpikir, bahwa jangan-jangan Antasari Azhar dijadikan korban politik oleh mereka yang takut kedudukannya terancam. Logikanya begini: Jika salah seorang tinggal atau hidup dilingkungan yang semua penduduknya adalah pencuri. Maka suara kebenaran di situ pasti tidak berharga sama sekali. Artinya, adalah sangat tidak mungkin satu orang benar dapat mengatakan, bahwa “semua tetanggaku adalah pencur”, sekalipun memang benar, bahwa semua tetangganya adalah pencuri. Contoh yang lain lagi: salah seorang waras yang tinggal dilingkungan orang-orang gila. Adalah sulit baginya untuk mengatakan, bahwa semua orang yang ada dikompleks perumahannya adalah tidak waras/ gila. Mungkin sebaliknya, yaitu yang waras, yang dikatakan orang gila oleh mereka yang tidak waras tersebut.

Bak seorang grafis desainer maupun pecinta seni mengolah gambar yang sangat ahli menggunakan Photoshop untuk mengedit atau merekayasa kebenaran demi mendapatkan sejumlah uang. Beberapa kejanggalan di atas bukan tidak dapat dijawab, tetapi mungkin mereka yang berhak untuk menjawabnya sedang berada dipikah kejahatan. Mereka rela menukar suara kebenaran, yang lahir dari hati nurani dengan sejumlah uang. Karena itu, tidak heran kejahatan merajalela, mendakwa, menekan, dan menindas kehidupan rakyat kecil yang lemah secara ekonomi, politik, dan lemah secara hukum. Jika Antasari saja bisa dicebloskan ke dalam penjara, apalagi rakyat kecil. Pasti semakin menjadi santapan lezat bagi para binatang. Demi sejumlah uang, mereka merela menghianati hati nurani yang dianugerahkan oleh Tuhan. Negara akan menjadi lebih baik dan sembuh dari lukanya, jika para pemimpinnya memiliki integritas dan itiket yang baik. Sebaliknya, negara akan runtuh dan sistemnya pasti hancur jika dipimpin oleh mereka yang gemar dan mencintai uang lebih dari manusia yang ada di dalam sebuah negara itu sendiri. 

MARI BERGURU KEPADA LEBAH!


Oleh: Sugiman

Lebah merupakan sekelompok besar serangga yang dikenal karena hidupnya berkelompok meskipun sebenarnya tidak semua Lebah bersifat demikian. Semua Lebah masuk dalam suku atau familia Apidae (ordo Hymenoptera: serangga bersayap selaput). Meskipun demikian, ada banyak sifat unggul yang diperlihatkan oleh mereka, yang mungkin tanpa mereka sadari bahwa hal itu telah dan sedang diamati oleh manusia. Sangat menagjubkan. Manusia yang menganggap dirinya jauh lebih bijak, cerdik, genius/ cerdas, dan berilmu tidak mampu menandingi mereka. Jika dilihat dari sudut pandang teologis, salah satu makna yang dapat kita petik adalah mengakui dengan jujur, bahwa segala hikmat, ilmu pengetahuan, keunggulan, dan perilaku yang luar biasa lainnya bukanlah dari mereka sendiri. Melainkan diberikan oleh Sang Pencipta yang jauh melebihi semuanya. Namun tidak semua orang dapat mengetahi dan melihatnya?

Lebah adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang berbadan mungil, mereka tidak bisa berpikir sebagaimana layaknya yang  dilakukan oleh manusia. Namun mereka dapat memperlihatkan sifat-sifat unggul yang jarang, dan bahkan tidak terpikirkan oleh banyak orang. Setiap insinyur, manajer, manajer pelaksana, dan bahkan seorang karyawan sekalipun menempuh pendidikan, berbagai pelatihan atau keterampilan lainnya dalam jangka waktu tertentu sebelum ditempatkan pada posisi masing-masing. Bahkan setelah setiap orang menempati masing-masing posisinya, mereka tetap tidak semuanya bisa menandingi kemampuan cara kerja Lebah. Berikut adalah beberapa hal yang diperlihatkan secara alami oleh Lebah, yang tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang, akan, dan terus akan diawasi dan dipelajari oleh sebagian kecil manusia (tidak semua orang).

1.      Kerja sama yang ikhlas atau tulus.
Bekerja sama merupakan ciri-ciri makhluk Tuhan yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasannya. Setiap makhluk ciptaan-Nya tidak bisa dipisahkan dari makhluk atau benda ciptaan Tuhan yang lainnya. Karena itu dibutuhkan kerja sama. Kerja sama tidak berarti semuanya harus melakukan tugas yang sama, melainkan melakukan semua jenis pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan dan talenta yang Tuhan berikan. Tidak cukup hanya itu, tetapi ketulusan atau keikhlasan juga sangat dibutuhkan dalam kerja sama. Hal itulah salah satu keunggulan yang diperlihatkan oleh kehidupan Lebah. Mereka mengisi kantong-kantong madu dengan sangat hati-hati, teliti dan penuh perhitungan. Mereka sadar betul akan keterbatasan sebagai makhluk ciptaan, karena itu dibutuhkan kerja sama.

Pertanyaannya, apakah manusia semuanya bisa bekerja sama? Bisa, tetapi tidak semuanya bisa. Karena setiap orang cenderung bekerja sendiri-sendiri, dan dari situlah kesombongan dihasilkan, yaitu di mana setiap orang berusaha untuk menonjolkan, bahwa dirinya-lah yang paling hebat. Kesombongan adalah awal dari kehancuran, dan kesombongan juga adalah tahap awal penolakan manusia terhadap Tuhan, dan bahkan melupakan-Nya.

2.      Fokus pada kualitas terbaik (tujuan utama)
Untuk mendapatkan hasil atau kualitas terbaik, adalah tidak cukup hanya dengan bekerja sama, kemudian mengabaikan kualitas. Koloni Lebah tidak hanya mampu bekerja sama dengan Lebah yang lainnya (kelompoknya), tetapi juga mampu memberikan hasil atau kualitas terbaik mereka. Saya kira itulah salah satu prioritas utama mereka. Bagaimana dengan manusia? Sebagian kecil iya, tetapi lebih dari itu tidak. Karena kecenderungan manusia adalah suka bekerja asal-asalan, yaitu asal dapat gaji dan dapat bekerja, asal sibuk, asal bayar kontrakan atau membiayai kehidupan keluarga, sudah cukup. Bekerja tidak maksimal pasti mendapatkan hasil yang tidak maksimal juga. Hasil yang tidak maksimal hanya bisa merugikan. Orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang suka mengabaikan kualitas terbaik. Sehingga akibatnya, mereka kehilangan kepercayaan dari yang lainnya.

3.      Tanggung jawab dan tahu diri (bertanggung jawab penuh)
Selanjutnya, tanggung jawab dan tahu diri juga dijunjung tinggi oleh setiap Lebah. Umumnya, koloni Lebah madu terdiri dari Lebah pekerja, pejantan, dan ratu, dan masing-masing dari mereka bekerja sama dengan sangat tertib, tanpa ada dengki, iri hati, cemburu, apalagi mengambil alih yang bukan bagiannya. Tetapi mereka menyadari betul (tahu diri), bahwa mereka telah melakukan semuanya dengan penuh tanggung jawab, dan sesuai dengan keahlian masing-masing di bidangnya. Harun Yahya adalah seorang cendekiawan asal Turkey menggambarkan dengan sangat detail, cara kerja Lebah madu. Dia mengatakan, bahwa Lebah pekerja bertanggung jawab penuh untuk memeriksa sel-sel tempat penyimpan makanan, sel-sel yang akan digunakan Lebah ratu. Lebih jauh lagi, Lebah-lebah tersebut juga mengatur temperatur atau kelembaban di dalam sarang. Bahkan jika diperlukan mereka menggunakan kipasan sayapnya.

4.      Teliti dan Inisiatif tinggi
Hal mengagumkan lainnya yang diperlihatkan oleh Lebah madu adalah mereka membangun kantong-kantong madu dengan sangat rapi, mereka membangunnya dari titik-titik yang berbeda-beda. Ratusan dan bahkan ribuan Lebah membangun dan menyusun rumahnya dengan sangat teliti, yaitu mulai dari tiga atau empat titik awal yang berbeda-beda hingga semuanya bertemu di tengah atau menghasilkan sarang yang utuh. Karena begitu telitinya, setikit pun kesalahan tidak tampak. Dengan hikmat, kecerdasan, kepintaran yang diberikan oleh Sang Pencipta, merea dapat memperhitungkan besar sudut antara rongga yang satu dengan yang lainnya. Bahkan Harun Yahya mengatakan, satu rongga dengan rongga dibelakangnya selalu dibangun dengan kemiringan 13 derajat dari bidang datar. Dengan demikian, kedua sisi rongga berada pada posisi miring ke atas yang bisa mencegah agar madu tidak mengalir dan tumpah. Tidak hanya teliti, mereka juga memiliki inisiatif yang tinggi dalam bekerja, yaitu tanpa harus diperintah atau disuruh-suruh mereka melakukan semua pekerjaan sesuai kesadaran tanggung jawab pribadi. Sungguh menakjubkan.

5.      Kebersihan
Kebersihan sarang sangatlah penting bagi kesehatan para Lebah, terutama ratu dan larva dalam koloni. Lebah pekerja membuang seluruh bahan yang sudah tidak berguna atau berlebih yang ada dalam sarang. Ini memperlihatkan dengan gamblang, bahwa setap saat (siang dan malam) mereka selalu mengontrol keadaan sarang. Bahkan jika ada serangga penyusup yang tidak mampu mereka keluarkan dari sarang harus dibunuh terlebih dahulu, setelah mereka membungkus dan mengawetkannya dengan Propolis (menyerupai pembalseman mayat). Propolis adalah suatu bahan istimewa yang sifatnya anti bakteri sehingga sangat baik digunakan sebagai pengawet. Padahal Propolis adalah bahan yang hanya dapat dihasilkan dalam kondisi laboratorium dengan teknologi dan tingkat pengetahuan ilmu kimia yang cukup tinggi. Tetapi Lebah sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ini, apalagi laboratorium dalam tubuhnya. Lalu dari mana mereka bisa tahu bahwa itu Propolis yang fungsinya untuk mengawetkan? Silahkan jawab sendiri! Saya hanya berusaha mencari jawab mengenai siapa yang ada di balik kehidupan mereka.

6.      Komunikasi yang baik
Proses mengisi kantong-kantong madu yang telah tersedia pasti sangat melelahkan, yaitu di mana para Lebah pekerja harus mengumpulkan cairan manis dari bunga-bunga. Ini bukanlah suatu tugas ringan yang harus mereka kerjakan, hasil penilitian ilmiah terkini mengatakan, banhwa untuk memproduksi setengan (½) kilogram madu, para Lebah pekerja harus mengunjungi sekitar 4 juta kuntum bunga! Bagaimana mereka dapat menemukan bunga-bunga di dalam ruangan dunia yang sangat luas? Mengapa mereka tidak pernah tersesat saat kembali ke sarang? Bagaimana mereka datap membedakan bunga yang beracun dan yang tidak? Bagaimana teman-temannya yang lain bisa mengetahui bahwa di sana ada sumber bunga?

Hasil penelitian ilmiah membuktikan, bahwa ketika seekor Lebah menemukan sumber bunga, maka tugas berikutnya adalah kembali ke sarang dan memberi tahu Lebah-lebah lain di mana lokasi bunga yang lainnya. Selanjutnya, setiap Lebah harus membiarkan teman-temannya menguji kualitas sari bunga dengan cara mencicipinya terlebih dahulu sebelum dibawa ke sarang. Selanjutnya, Lebah juga menunjukan arah atau sumber bunga yang baik dan berkualitas dengan cara menari dan mengoyangkan badannya di tengah sarang. Sungguh cara yang sangat unik dan sulit untuk dipercaya. Hasil sebuah penelitian di California yang telah teruji mengatakan, bahwa setiap gerakan, yaitu lama dan jumlah gerakan dalam tarian tersebut memberikan makna atau informasi yang sangat penting dan berharga bagi Lebah yang lainnya. Bahkan dikatakan, bahwa Lebah pemandu tidak hanya menunjukkan arah sumber bunga, tetapi juga memberi tahu jarak tempat di mana bunga itu ada. Sungguh cara berkomunikasi yang unik, mencengangkan, meskipun sulit dipercaya!

Jika setiap orang mau belajar dari lebah, bukan tidak mungkin mengubah dunia di mana dia hidup sesuai kapasitas yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Misalnya, jika para politikus yang ada di Indonesia menerapkan cara kerja lebah dalam meningkatkan kualitas kinerja mereka, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara sukses, mengurangi pengangguran, mengurangi kemiskinan, kekerasan, dan meningkatkan pendidikan. Tetapi sayang, para politikus yang hidup di negara Indonesia sebagian besar gengsi dan tidak mau belajar dari lebah. Sehingga korupsi semakin menjadi-jadi. Korupsi adalah akar semua masalah negara Indonesia.

Sungguh, kasus politik di Indonesia menguras tenaga, pikiran, dan perasaan (perasaan prihatin, emosi dan sebagainya). Kasus korupsi menyeret negara Indonesia ke ambang pintu kehancuran. Kasus korupsi telah meruntuhkan hakikat dan martabat bangsa Indonesia. Selain itu, kasus ketidakadilan juga menjadi pelengkap dan atas masalah-masalah korupsi. Kebohongan telah merobek dan menghianati hati nurani. Hati nuran adalah tempat ketulusan, suara kebenaran, dan belas kasihan. Tetapi kini ditempati oleh kebencian, sakit hati, dendam, kebohongan, dan sifat-sifat kebinatangan lainnya. Tanpa merasa bersalah mereka merampok kekayaan negara untuk kepentingan pribadi. Tidak perduli rakyat mati kelaparan, kurang gizi, menjadi pengamen, gelandanmgan dan melarat, tidak memiliki tempat tinggal karena digusur dan diusir di mana-mana, tidak bisa menikmati pendidikan selayaknya, gedung sekolah pun masih banyak yang tidak diperhatikan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak ada bedanya dengan poster atau iklan di tepi-tepi jalan. Mereka mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat, tetapi menindas rakyat. Hal itu terlihat dari hasil kinerja mereka juga cenderung asal-asalan, sehingga hasilnya pun tidak maksimal. Mereka lupa, bahwa kualitas terbaik itulah yang dapat memperbanjang umur dan membawa mereka menemukan kehidupan yang bermakna, sekalipun mereka telah tiada di kemudian hari. Saya kira itulah yang dijunjung tinggi oleh para pahlawan sebelum tahun 1945 saat itu, tetapi diabaikan saat ini (abad ke-21). Negara Indonesia adalah ibu yang telah melahirkan saya, anda dan semua orang yang hidup di Indonesia. Saya mencintai ibu (bangsa Indonesia), tetapi saya benci dengan sifat-sifat ibu yang suka menindas, korupsi, menelantarkan kami sebagai anak-anakmu. Ibu kandung seharusnya melindungi anak-anaknya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

Kamis, 16 Februari 2012

KERTAS KORAN PEMBUNGKUS IKAN TRI dan KANTONG PLASTIK HITAM


Mengingat masa lalu yang silam (1985 – 2012). Setelah tiga tahun tinggal bersama keluarga dari pihak bapak, akhirnya mandiri juga. Semenjak mama meninggal, kami (saya dan bapak) tinggal dalam satu rumah bersama salah satu saudara kandung dari pihak bapak. Mungkin sebagian besar orang berpikir atau mengatakan, bahwa tinggal bersama keluarga itu sangat menyenangkan. Salah satu dari mereka yang berpikir demikian adalah saya. Tetapi, saya merasa, bahwa tinggal bersama keluarga itu sangat melelahkan pikiran, menguras, tenaga, perasaan dan emosi, bahkan membuat batin tersiksa dan menangis. Dalam hati saya berbicara, bahwa mungkin jauh lebih nyaman tinggal bersama orang lain yang tidak ada hubungan keluarga sama sekali, dari pada tinggal bersama keluarga. Meskipun demikian, harus saya akui juga bahwa tidak semua keluarga mengecewakan. Misalnya, teman saya tinggal bersama keluarganya diperlakukan seperti anaknya sendiri. Selanjutnya, saya juga pernah merasakannya sewaktu bapak masih bekerja dan jadi kuli di Malaysia. Saat itu saya tinggal bersama tante, yaitu adik dari almarhum mama. Meskipun hanya sebentar sih.

Karena merasa kasihan melihat saya selalu dimarahi saat melakukan kesalahan kecil, terkadang dipukuli dan bahkan pernah diusir, bapak pun akhirnya mengambil sebuah keputusan, bahwa kami harus tinggal di berdua. Seharusnya sih kami tinggal berlima (bapak, mama, abang, saya sendiri dan adik) tetapi sayang mereka sedang tidak beruntung. Mama dan adik meninggal sewaktu saya masih balita, dan mungkin pada waktu saya berusia kira-kira tiga tahun. Saya tidak tahu sama sakali seperti apa raut wajah atau paras mereka berdua. Bahkan dalam benak saya pun tidak ada gambaran mereka sama sekali. Foto-foto mereka juga tidak ada. Berbeda dengan kakak laki-laki, yang meninggal lumayan jauh jaraknya dibandingkan mama dan adik. Itu pun masih samar-samar bagi saya untuk memastikan, bahwa ingatan saya benar atau salah. Ungkapkan saya terkesan “melupakan total”. Karena memang saya tidak ingat sama sekali. Mungkin bisa dikatakan: “melupakan mereka dengan tanpa disengaja”.

Kembali lagi ke masalalu kami berdua. Setelah bapak mengambil sebuah keputusan bahwa kami harus tinggal bersama, tetapi tidak di sebuah rumah sebagaimana layaknya sebuah keluarga tinggal. Melainkan di sebuah pondok yang berukuran kecil, dinding dan lantai pun terbuat dari bambu yang dibelah-belah. Bahkan waktu pontok itu baru-baru kami tempati, pagi-pagi terasa sakit tulang punggung dan kepala karena bentuknya yang timbul -tenggelam seperti susunan atap genting. Tapi lama-kelamaan akhirnya bersahabat juga dan sudah terbiasa dengannya. Pondok kami terletak lumayan jauh dari tempat keramaian, tapi sangat dekat dengan pohon karet. Sehingga saat bangun pagi-pagi, turun dari pondok bisa langsung ngaret. Jalan untuk menujunya pun sangat sempit, berlumpur, melewati hutan yang dipenuh dengan batang karet dan pohon besar lainnya. Terkadang bulu tangan saya merinding, kepala saya terasa berat dan besar, dan merasa takut pada saat pulang sekolah terlalu sore. Saat itu saya masih duduk di bangku SD kelas 4. Karena gedung sekolah hanya terdiri dari 3 kelas, maka harus gantian, yaitu kelas 1-3 SD masuk pagi, sedangkan kelas 4-6 SD masuk sore, yaitu pukul 12.30 – 17.30. Jarank antara sekolah dan pondok sekali jalan tidak cukup ditempuh dengan durasi waktu 40 menit. Paling tidak hampir 1 jam kalau langkah kaki kita cepat.

Belum lagi melewati jalan setapak yang sangat licin dan lumpur sawah yang tingginya sampai ke lutut. Karena itu, tidak jarang saat pergi sekolah saya tidak menggunakan alas kaki, apalagi sepatu sekolah seperti saat ini. Saat itu tidak terlalu penting (tidak diutamakan) sepatu atau alas kaki, yang penting bisa belajar atau bersekolah. Hanya itu, dan tidak lebih dari itu. Jika kemalaman di perjalanan saya sudah membawa obor yang terbuat dari bambu, dan sumbunya terbuat dari kertas buku bekas. Nyalanya api obor sedikit menghilangkan rasa takut. Begitulah seterusnya saya menjalaninya dengan hati yang ikhlas dan menerimanya apa adanya. Meskipun jarak antara pondok dan sekolah lumayan jauh, tetapi saya tidak pernah bolos sekolah, kecuali sakit. Bahkan saya sering dikatakan siswa teladan oleh teman-teman dan beberapa orang tua yang sering melihat saya pergi ke sekolah lewat di depan rumahnya. Dari jauh mereka sudah mengenali saya, dengan celana pendek berwarna merah dan kantong plastik hitam untuk melindungi buku dan baju dari air hujan. Tas sekolah saya kemana? Ya tidak ada.

Setiap pergi dan pulang sekolah, kantong plastik hitam tidak pernah ketinggalan, apalagi terlupakan. Mengapa karena itu sangat penting dan menolong saya. Setiap membeli barang dari warung dan dibungkus dengan kantong plastik hitam, itu saya kumpulkan. Oh ya satu lagi benda yang sangat penting, yang tidak kalah pentingnya dari kantong plastik hitam, dan bahkan jauh lebih penting dari kantong plastik hitam. Anda tahu benda apa itu? Coba tebak! Benda itu adalah kertas koran pembungkus ikan tri. Setiap kali membeli ikan tri, hampir selalu dibungkus dengan kertas koran yang sudah dipotong-potong selebar kertas buku tulis, ya cukup untuk membungkus ikan tri satu ons. Baik bapak maupun saya, sehabis membeli ikan tri, kertas korannya itu selalu dikumpulkan dan disusun rapi di samping buku tulis saya.

Mungkin ada bertanya, kok di simpan di situ? Karena saat itu saya sangat suka membaca. Bahkan habis mengaret sambil istirahat makan, saya menyempatkan diri untuk membaca serpihan-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri tersebut. Hingga saat ini saya merasa, bahwa kantong plastik hitam dan serpihan-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri itu telah memberikan makna yang mendalah atas perjalanan hidup saya. Ternyata kantong plastik hitam dan serpihanm-serpihan kertas koran pembungkus ikan tri juga dipakai Tuhan untuk membentuk, mengajar, mendidik dan menuntun perjalanan hidup saya menuju masa depan yang lebih baik dari sebelumnya. Saya juga merasa, meskipun itu hanya terdiri dari beberapa serpihan kertas koran dan kantong plastik hitam, tetapi mereka membantu saya memahami dan menemukan makna kehidupan. Segala sesuatu bisa dipakai Tuhan demi kebaikan setiap pribadi. Hanya kitalah yang terkadang tidak memahami dan mengerti bahasanya Tuhan.

Saya sangat sadar, bahwa Tuhan sengaja bekerja melalui bapak saya yang sangat setia mendidik dan menuntun saya menuju dan menemukan kasih-Nya yang abadi dalam hidup ini. Terima Tuhan untuk semua jalan kehidupan yang sangat panjang, melelahkan, mengecewakan, dan bahkan sangat menyakitkan. Ada banyak kerikil tajam yang menusuk telapak kaki ini. Tetapi di balik semuanya itu terselubung makna kehidupan yang sangat besar dan mulia, kasih yang abadi, dan hikmat yang tak terselami, membuat saya tertunduk dengan penuh kerendahan di hadapan-Nya. Hal itulah juga yang membuat mata terbuka dan dapat melihat semua manusia, dan mereka semuanya berharga di mata Tuhan. Tetapi tidak semua dapat menemukannya. Sekali lagi terima kasih bapak untuk kesetiaan dan jasa-jasa bapak selama ini. Sekalipun bapak telah tiada, tetapi bapak akan tetap hidup selamanya di dalam hati saya. Bapak memang telah pergi meninggalkan saya sendirian di dalam dunia ini. Tetapi saya yakin, bapak pasti telah menitipkan saya kepada Sang Khalik, yaitu Sang pemilik kehidupan semua manusia. Karena itu, saya harus belajar menggantungkan hidup ini sepenuhnya hanya kepada-Nya, dan senantiasa belajar untuk berjalan di bawah pengamatan-Nya, serta belajar memberikan makna kehidupan kepada semua manusia.

Rabu, 15 Februari 2012

MANUSIA ADALAH BAHASA TUHAN

Oleh: Sugiman

Di mana Tuhan ketika berbagai tragedi menimpa manusia? Apakah Tuhan tidak berdaya untuk mencegah berbagai tragedi supaya tidak menghilangkan nyawa sebagian orang? Apakah Tuhan itu benar-benar  ada, atau sebutan Tuhan hanya sebagai obat bius yang dapat mengurangi dan menghilangkan rasa sakit sementara? Apakah Tuhan tidak peduli atas hidup manusia, sehingga Dia rela membiarkannya mengalami semua tragedi yang tidak diinginkannya? Misalnya, seorang anak laki-laki usia 12 tahun sedang menggendong adik perempuannya yang masih berusia 5 tewas dengan sangat tragis setelah terlindas mobil truk berisi pasir ketika menyeberang jalan. Selanjutnya, seorang nelayan yang tenggelam dan hilang setelah kepalanya dihantam gelombang besar pada malam hari. Selanjutnya, seorang ibu meninggal saat proses melahirkan anak pertamanya di rumah sakit. 
Tragedi yang lain adalah, pada tahun 2007 gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh, Nias, kepulauan Mentawai dan sekitarnya. Saat itu semua mata manusia yang melihat secara langsung, maupun tidak langsung menjadi saksi atas kematian banyak orang di sana. Selanjutnya, pada bulan September tahun 2009 gempa bumi juga beberapa kali menggoncang beberapa kawasan di Jawa dan SumateraTasikmalaya pada tanggal 2 September 2009 dengan kekuatan 7,3 Skala Richter. Kemudian Padang Pariaman pada tanggal 30 September 2009 dengan berkekuatan 7,9 Skala Richter. Selanjutnya banjir bandang di Wasior - Papua Barat tahun 2010. Selanjutnya, pada tanggal 26 Oktober 2010 kepulauan Mentawai kembali digoncang gempa bumi dan sapu Tsunami yang menewaskan banyak korban jiwa. Masih banyak lagi tragedi yang telah, sedang dan akan terjadi diberbagai belahan dunia lainnya. Dunia seakan menangis dan meratapi korban jiwa yang terdiri dari orang jahat dan orang baik, dan mereka mengalami tragedi yang sama. 

Dari manakah semuanya itu? Siapakah sebenarnya yang pantas menerima semua tragedi itu? Tuhan yang Mahakasih, Mahakuasa, Mahatahu dan Mahaadil seolah-oleh bingung, dan bisu untuk menjawab semua pertanyaan di atas. Karena itu, tidak heran jika semua pertanyaan di atas pernah dilontarkan oleh mereka yang pernah mengalami, yang sedang mengalami ataupun mereka yang akan mengalami dari sebagian tragedi yang disebutkan di atas. 

Usaha seseorang untuk menghibur para korban supaya menerima realita yang ada dengan ikhlas, hati yang rela, dan dengan lapang dada adalah tidak semudah seperti kawanan perampok melemparkan ikan goreng atau ayam bakar terhadap anjing penjaga rumah mewah. Melainkan seperti mencari sebuah cincin berlian yang terjatuh di dalam air rawa berlumpur dan dipenuhi dengan tumbuhan kangkung liar di atasnya. Realitas kehidupan dan kematian adalah bersifat netral dan wajar. Dengan reaksi kita, kita dapat memberi makna positif atau negatif atas sebuah tragedi atau penderitaan yang kita alami. Sakit, kecelakaan, bencana, dan tragedi kemanusiaan lainnya dapat membunuh orang, tetapi tidak harus membunuh kehidupan, harapan dan kepercayaan. 

Akan tetapi harus kita sadari, bahwa kematian orang-orang yang kita kasihi, yang membuat hati kita pedih, iri hati, menggugat agama, menyalahkan Tuhan, dan membuat hidup kita tidak bahagia atau berarti, karena kita menjadikannya sebagai fokus satu-satunya. Menjadikan mereka sebagai fokus satu-satunya sebenarnya adalah sebuah usaha bahwa kita menolak kehidupan. Kita memang tidak dapat menahan supaya mereka tetap hidup. Tetapi tidak berarti kita menolak kehidupan. Padahal masih banyak hal penting atau sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, yang dapat kita lakukan bagi mereka telah tiada, yaitu menjadikan mereka sebagai saksi Tuhan dan kehidupan. 

Dengan kata lain, penderitaan dan kematian orang-orang yang kita kasihi seharusnya membuat kita tanpa mengenal lelah untuk menelusuri batas-batas kemampuan kita guna mendapatkan sebuah kekuatan baru, yang bisa kita jadikan tongkat atau semangat, cinta, dan kegembiraan atau kebahagiaan abadi. Harold S. Kushner mengatakan, “Jika penderitaan dan kematian orang terdekat kita membuat kita menemukan sumber penghiburan yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya, kita telah membuatnya lebih menjadi saksi pengukuhan dari pada penolakan kehidupan”. Kalimat Kushner di atas menjelaskan, bagaimana kita harus bertindak positif dalam menghadapi tragedi kehidupan. Jika demikian, bagaimana dengan peranan Tuhan? apakah Tuhan yang menjadi penyebab utamanya? Jika Tuhan tidak menjadi penyebab dan jika Dia tidak bisa mencegah hal buruk yang menimpa orang baik, maka apa baiknya Dia? 

Pertama-tama, kita harus jujur mengakui bahwa Tuhan telah menciptakan sebuah dunia tempat kita berpijak atau tinggal, tempat di mana lebih banyak hal baik terjadi dari pada hal buruk. Hal itu terlihat jelas, yaitu di mana penderitaan atau malapetaka tidak menimpa semua orang, tetapi hanya orang-orang tertentu. Tetapi bagaimana dengan kematian? Harus kita sadari, bahwa tidak semua kematian disebabkan oleh penderitaan atau malapetaka. Melainkan sebagai kewajaran dan alamiah. Itulah salah satu bukti kefanaan manusia. Artinya, kematian harus diterima secara wajar, sekalipun ada kematian orang-orang yang dianggap tidak wajar. Misalnya gantung diri, minum racun, menjatuhkan diri dari atas gedung dan sebagainya. 

Selanjutnya, setiap hari kita melihat bahwa lebih banyak orang yang bangun pagi hari, masih bertemu dengan orang-orang yang mereka kasihi dengan perasaan bahagia. Selain itu, kita juga melihat, bahwa lebih banyak para dokter berhasil mnyembuhkan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian apabila lambat ditangani. Selain itu, masih banyak angkutan umum seperti mobil, pesawat, kapal air, bajai, sepeda motor yang membawa para penumpangnya selamat sampai ke tujuan. Anak-anak yang diizinkan oleh orangtuanya untuk bermain akan pulang dengan tubuh yang sehat dan selamat. Kejahatan, seperti perampokan, kecelakaan, pembunuhan, tumor ganas, bencana alam hanyalah bentuk diskriminasi yang merenggut nyawa manusia, tetapi itu sangat jarang terjadi dibandingkan dengan segala hal baik yang telah diterima dan dirasakan oleh manusia di sepanjang hdupnya. 

Ketika kita terluka dan mengalami kekecewaan yang mendalam dalam hidup ini, mungkin sangat sulit untuk menerimanya dengan hati yang tulus atau ikhlas. Itu disebabkan, mungkin karena kita berdiri terlalu dekat dengan sebuah objek besar. Sehingga menyebabkan kita tidak bisa melihat kemungkinan atau celah-celah, yang di mana kita seharusnya dapat menghirup udara segar dan bernapas secara normal. Hanya dengan melangkah mundur darinya kita bisa melihat bahwa masih melihat luasnya lingkungan di sekitar objek itu. Dalam hal inilah Kushner menegaskan, bahwa hanya jarak dan waktulah yang dapat membuat seseorang itu mampu memandang tragedi itu dalam konteks kehidupan dan dunia secara universal. 

Karena keegoisan, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, yang memberi inspirasi pada orang-orang untuk membantu sesamanya yang sudah dilukai oleh tragedi kehidupan. Dengan cara menolong para korban, mereka telah melindungi para korban dari berbagai ancaman perasaan hampa, sepi atau sendirian, diabaikan, dan dihakimi. Tuhan memotivasi beberapa orang untuk menjadi dokter, perawat dan bidan. Sehingga melalui mereka banyak nyawa yang tertolong dari kematian. Siang dan malam mereka lewati, mereka rela memberikan suatu pengorbanan yang intensitasnya tidak dapat dinilai dari sudut pandang materi guna mempertahankan kehidupan dan mengurangi penderitaan. Tuhan juga memberikan semangat dan kepintaran kepada sebagian orang untuk menjadi seorang peneliti kesehatan, sehingga mereka mampu mencurahkan energi untuk mencari dan menemukan sebab dan obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. 

Selanjutnya, Tuhan juga menggerakan hati para donatur dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk korban tsunami Aceh, Nias dan kepulauan Mentawai 2007, gempa bumi yang menerjang Padang Pariaman 2009, korban banjir bandang di Wasior – Papua Barat 2010, kemudian di kepulauan Mentawai lagi 2010, bencana gunung berapi di Yokyakarta 2010 dan masih banyak lagi tangan-tangan yang dengan rela memberikan bantuan (tanpa ada motivasi lain). Sekali pun ada dari mereka yang memanfaatkan momen tersebut dan memiliki motivasi lain dengan mengatasnamakan bantuan. Tetapi saya yakin, Tuhan tidak pernah berbuat curang seperti yang mereka lakukan terhadap sesamanya. Jadi, siapakah yang menggerakkan hati mereka untuk mengasihi sesamanya? Adakah kasih yang lebih besar di luar Tuhan? Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa “manusia adalah bahasa Tuhan”. 

Ingat! Tuhan tidak pernah mengatakan kepada kita, bahwa penderitaan itu tidak akan ada, tetapi Tuhan mengatakan bahwa Dia pasti akan menyertai sepanjang hidup kita. Karena itu, Jhon F. Kennedy mengatakan demikian: “Jangan berdoa meminta hidup menjadi mudah. Berdoalah agar menjadi pribadi yang lebih kuat”. Selanjutnya, saya menutup tulisan ini melalui sebuah kalimat dari tulisan Henry van Dyke, dia pernah mengatakan demikian: “Waktu terkadang terlalu lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu cepat bagi mereka yang takut, terlalu panjang bagi mereka yang gundah, dan terlalu pendek bagi mereka yang bahagia. Tetapi bagi mereka yang selalu mengasihi, waktu adalah keabadian”.

Minggu, 12 Februari 2012

DOA SANGAT MEMBUTUHKAN TINDAKAN


Oleh: Sugiman

Dalam beberapa seminar Kristen tidak jarang mengangkat tema mengenai “DOA YANG BERKUASA”. Mendengar tema itu terkadang saya tertawa sebentar tanda tidak setuju. Mengapa? Karena fokusnya bukan pada Tuhan, tetapi pada doa. Seandainya seseorang bertanya kepada Anda demikian: “manakah yang lebih berkuasa, Tuhan atau doa”? Ya Tuhan-lah. Jika doanya yang berkuasa, lantas Tuhan ditempatkan di mana?

Selanjutnya, ada mereka yang mengatakan bahwa doa adalah napas kehidupan manusia. Pendapat yang lain mengatakan, bahwa doa adalah alat komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Menurut saya tidak ada yang salah dari ketigaa pendapat di atas, tetapi pemahaman doa akan menjadi salah atau keliru jika hanya dipahami sebagai “yang berkuasa”, “napas kehidupan” atau sebagai “alat komunikasi” antara manusia dengan Tuhan. Karena menurut saya, doa tidak hanya sekedar napas kehidupan, atau alat komunikasi belaka, melainkan doa adalah relasi timbal balik antara manusia dengan Tuhan. Doa adalah sebuah laporan kepada Tuhan bahwa kita telah siap untuk melakukan banyak hal yang mendatangkan kebaikan bagi kita dan semua orang sesuai dengan permohonan yang disetujui oleh Tuhan.

Doa tanpa tindakan adalah sama artinya dengan permohonan yang diajukan kepada Tuhan supaya melakukan semua perintah kita. Jika doa hanya dipahami demikian, maka yakinlah jika doa itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena itu, tidak heran banyak orang memaksa Tuhan untuk melakukan sesuai keinginannya, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pembantunya. Seolah-olah semua masalah telah selesai ketika si pendoa membacakan daftar atau agenda yang dia bicarakan bersama Tuhan. Padahal berdoa itu seumpama seorang bawahan yang sedang menyodorkan selembar kertas yang berisi visi dan misi kepada atasan untuk meminta persetujuan supaya ditandatangani oleh Tuhan. Dengan demikian kita tidak menyalahi aturan yang diberlakukan-Nya.

Dalam konteks itulah Harold S. Kushner mengatakan, bahwa Kita tidak dapat meminta pada Tuhan sesuatu yang dapat kita kita usahakan sendiri hanya supaya kita terbebas dari tugas untuk melakukannya. Tetapi kita harus hadir di dalamnya dan melakukan semuanya bersama Dia ketika kita merasa tidak mampu.

Jack Riemer dan Likrat Sahabbat menuliskan demikian:

Kami tidak dapat hanya berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, untuk mengakhiri perang; Karena kami tahu bahwa Engkau sudah menciptakan dunia sedemikian rupa, sehingga manusia harus menemukan caranya sendiri untuk mewujudkan perdamaian dalam dirinya dan dengan tetangganya.

Kami tidak dapat hanya berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, untuk mengakhiri kelaparan; karena Engkau telah menganugerahi kami sumber-sumber yang dapat memberi kami makan seluruh bumi jika kami menggunakannya dengan bijaksana.

Kami tidak dapat hanya berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, untuk mengakhiri prasangka, karena Engkau sudah menganugerahi kami kedua mata untuk melihat yang baik dalam semua manusia jika kami menggunakannya dengan benar.

Kami tidak dapat hanya berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, untuk mengakhiri keputusan; karena Engkau sudah menganugerahi kami kekuatan untuk menyingkirkan kemiskinan dan memberi pengharapan, jika kami menggunakan kekuatan kami dengan adil.

Kami tidak dapat hanya berdoa kepada-Mu, ya Tuhan, untuk mengakhiri kesakitan, karena Engkau sudah menganugerahi kami pikiran cerdas yang dengan itu mencari obat dan penyembuhan jika kami menggunakannya secara konstruktif.

Karena itulah kami berdoa kepada-Mu, ya Tuhan,
untuk kekuatan, tekad dan keteguhan hati,
untuk berbuat bukan sekedar berdoa,
untuk menjadi bukan sekedar berharap.

MEMBERI atau MENERIMA?


Oleh: Sugiman

Jika seseorang bertanyan demikian: manakah yang Anda pilih, memberi atau menerima? Mungkin sebagian akan menjawab: saya memilih memberi dari pada menerima, dan yang sebagian lagi memilih menerima dari pada memberi, atau ada yang memilih kedua-duanya. Karena setiap orang yang memberi pasti akan menerima.

Ketiga jawaban di atas adalah ekspresi atau pilihan atas kehendak bebas dan tidak ada seorang pun yang bisa mendikte atas Anda. Tetapi saya akan memilih untuk menjadi kelompok orang yang pertama. Di dalam kata memberi, menerima atau yang memilih keduanya adalah sama-sama mengandung nilai, hanya beratnya saja yang berbeda. Perhatikan sebuah kisah di bawah ini!

Konon hidup sebuah keluarga yang kaya-raya dan mereka dianugerahi dua orang anak yang tanpan (kakak) dan cantik (adik). Jangan tanya lagi, apakah kedua anak laki-laki atau keduanya perempuan! Karena tidak munmgkin yang laki-laki dikatakan cantik, atau yang perempuan dikatakan tanpan. Kedua anak di dalam keluarga itu menempati kedudukan yang jauh berbeda. Yang perempuan selalu diberi kelebihan, yaitu: perhatian lebih, kasih sayang lebih, uang jajan lebih, makan lebih, fasilitas lebih dan semuanya dilebihkan. Tetapi tidak untuk anak mereka yang laki-laki, yaitu: perhatian kurang, kasih sayang kurang, uang jajan, makan dan fasilitas apalagi, pokoknya semuanya serba dikurangi. Meskipun demikian, semuanya itu tidak membuat kasih sayangnya berubah dan pudar terhadap kedua orang tua dan adiknya. Dia hanya bisa memberi dengan apa yang dapat ia berikan, dan tidak pernah mengharapkan apa yang akan dia terima sebagai balasan pemberiannya. Kerendahan hati, kejujuran, ketulusan dan keikhlasan itulah yang dijunjung tinggi. Singkat cerita kedua anak tersebut telah menjadi dewasa, tetapi ada satu sifat yang sangat menonjol pada keduanya, yaitu si anak laki-laki ini begitu mandiri dan bijaksana, sedangkan si adik sangat tergantung pada kedua orang tuanya.

Arti memberi yang sesungguhnya adalah tidak harus menerima, tetapi setidaknya ia bisa berbagi dari apa yang bisa dia berikan. Karena si pemberi yang tulus hanya mengantungkan hidupnya pada yang kuasa. Si pemberi merasa bahwa semua yang dia miliki adalah titipan untuk berbagi dengan mereka yang tidak punya. Selanjutnya mereka yang menerima dan selalu ingin menerima akan menjadi pribadi yang mengantungkan hidup dan harapannya kepada orang lain, sehingga ia tidak menjadi pribadi yang mandiri. Sedangkan mereka yang memberi supaya diberi hanya akan menjadikan mereka sebagai pribadi yang tidak tulus dan ikhlas. Menerima sesuatu dari orang yang pernah kita beri adalah wajar, tetapi akan menjadi tidak wajar jika kita memberi supaya diberi, atau kita mengharapkan pemberian sementara kita tidak pernah memberi.

Kita hidup di dalam dunia ini memang tidak bisa dipisahkan dari orang lain dan kita bergantung pada orang lain dengan sebelah tangan. Bergantung sebelah tangan tidak sama artinya dengan ketergantungan, atau bergantung sepenuhnya pada orang lain. Bergantung sepenuhnya pada orang lain hanya akan membuat hidup ini kecewa dan melupakan sang Khalik. Tetapi sebaliknya mereka yang mengantungkan hidupnya sepenuhnya pada sang Khalik akan menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Dia memberi bukan supaya diberi, melainkan karena semua yang dia miliki adalah titipan sang Ilahi untuk dibagikan kepada orang lain sungguh-sungguh membutuhkan. Hanya mereka yang berjiwa memberilah yang bisa merasakan bahwa hidup ini harus berbagi. Karena itu, orang yang lebih berbahagia adalah orang yang masih bisa memberikan sesuatu dibandingkan dengan mereka yang hanya menerima dan terus ingin menerima. Jangan pernah mengharapkan balasan saat memberikan sesuatu kepada orang yang menerima, tetapi berharaplah supaya orang yang menerima bisa memberi juga orang yang lainnya.

Rabu, 08 Februari 2012

BERHENTILAH SEJENAK!


Oleh: Achmad Siddik

Seorang pria melintas di sebuah taman. Taman itu dihiasi dengan air mancur yang pada bagian tengahnya. Disekeliling air mancar terlihat bunga Iris merah muda yang sedang mekar.
Tiap hari dia melewati taman itu sebelum sampai di tempat kerjanya. Tempat kerja pria profesional muda ini adalah sebuah gedung pencakar langit. Rutinitas dan target kerja yang ketat membuat keindahan taman itu tak terlihat olehnya.

Pagi itu, seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin berhenti sejenak, ia melihat seorang Ibu bersama anak kecil berumur sekitar 4 tahun berjalan bergegas. Sang Ibu menuntun putrinya dengan langkah cepat. Sementara sang anak tergopoh-gopoh mengiringi ibunya. Tiba-tiba sang anak menarik-narik tangan ibunya.
”Sebentar, Ma, berhenti dulu. Lihat Ma, ada pelangi di belakang air mancur.”
”Ayo, Adik, kita bisa ketinggalan bus, kalau tidak segera sampai halte sekarang.” sang ibu mencoba menolak tarikan tangan anaknya. Sang ibu kemudian menatap wajah memelas anaknya. Sang ibu merasa kasihan.

Pria itu berhenti dan terdiam. Ia ingin memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia menduga sang ibu pasti akan menuntun anaknya menuju halte bus. Pria itu melangkah mendekat ke tempat Ibu dan putrinya berdiri. ”Baiklah Adik, nanti juga ada bus lain.” Sang ibu membalas permintaan anaknya.

Dugaan Pria itu salah. Ibu dan anak itu berjalan menuju air mancur di tengah taman itu. Pria itu pun mengikuti dari belakang dan ingin mengetahui kejadian berikutnya.
Sesampainya di air mancur yang dikelilingi bunga Iris, sang ibu berlutut sambil memeluk putrinya. Kecerian terbit dari wajah mereka karena bisa bersama-sama menikmati keindahan pelangi dan bunga Iris.
Sementara pria yang sejak tadi mengamati kejadian itu tertegun. Tak ada kata yang bisa terucap dari mulutnya. Taman itu kini laksana surga yang terhampar begitu indah di hadapannya. Pelangi dibalik percikan air mancur terlihat seperti lukisan indah di kanvas biru. Bunga Iris berwarna merah muda nampak seperti gadis cantik memakai mahkota indah.

Dia merasa malu terhadap dirinya. Sebelum hari ini, taman indah ini laksana benda mati tanpa makna. Air mancur yang mengalir bening dia anggap suara air yang berisik. Bunga Iris yang demikian indah seolah hanyalah warna alam tanpa rasa. Kesibukan telah membuatnya mati rasa. Seolah tak ada waktu untuk menikmati keindahan dari yang dilewatinya.

Pria itu mendapat pelajaran berharga dari ibu dan putrinya tadi. Ia sudah bekerja sangat keras sepanjang tahun tanpa cuti. Ia tak merasakan kehangatan dalam keluarganya. Hampir-hampir tak ada kata ”Sebentar” dalam hidupnya. Dia kini bertekad untuk tak melewatkan setiap pelangi yang terlukis di langit, menikmati keindahan bunga Iris di taman dan semua karunia yang diberikan-Nya.

Terkadang kita bergerak demikian cepat dalam menggapai cita-citah kita. Sayangnya, gerakan cepat itu hanya dilakukan oleh tubuh kita, tidak bersama jiwa kita. Kita meninggalkan tubuh kita melesat mendahului jiwa kita. Akhirnya tubuh ini berjalan tanpa jiwa. Tubuh yang kehilangan jiwa tidak mampu menangkap keindahan karunia-Nya, tidak peka dengan nikmat yang ada di depan matanya dan sulit menangkap isyarat kebaikan dari alam sekitarnya.

Tidak perlu merasa bersalah untuk berhenti sejenak dan berpikir. Waktu yang rileks dan tenang akan berguna untuk melihat segala sesuatu menjadi lebih proporsional. Jangan tinggalkan jiwa kita, jangan matikan rasa kita dan berbagilah pelangi untuk orang-orang yang kita cintai.

Sumber : 
www.kompasiana.com/achmadsiddikthoha