Selasa, 19 Februari 2013

PENTINGNYA INTEGRITAS DALAM KEPEMIMPINAN YANG VISIONER



Oleh: Sugiman

Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8) [1]


Tidak jarang telinga kita mendengar kicauan para pemimpin (politik maupun pemimpin agama) yang mengembar-gemborkan janji-janji palsu dan program-program politik maupun keagamaan demi sebuah jabatan tertentu. Tetapi setelah itu, semuanya menjadi sirna, dilupakan dan hambar ketika telah berhasil menduduki kursi jabatan impian. Bukan karena mereka tidak memiliki visi dan misi, tetapi karena miskin dan rendahnya integritas. Artinya, visi dan misi saja tidak cukup untuk dijadikan syarat kepemimpinan. Namun, tidak berarti visi dan misi itu tidak penting, tetapi tanpa integritas maka keduanya hanyalah semboyan belaka. Rendahnya kualitas integritas yang dimiliki seorang pemimpin dapat melumpuhkan visi dan misi serta kualitas moral seorang pemimpin itu sendiri. Oleh sebab itu, jangan heran jika rakyat atau masyarakat luas memandang dengan sinis dan meremehkan para pemimpin negara ataupun agama. Kehadiran seorang pemimpin tidak lagi dipandangan sebagai public figur. Itu sebabnya, integritas dalam kepemimpinan yang visioner dipandang sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin.

Pembahasan

a.        Apa itu integritas?

Jhon Stott pernah menuliskan demikian, “Integritas adalah ciri orang-orang yang terintegrasi secara selaras, yang di dalam dirinya tidak ada dikotomi antara kehidupan pribadi dan kehidupan di muka umum, antara yang disaksikan dan yang diterapkan, antara yang diucapkan dan yang dilakukan”.[2] Maksudnya, keselarasan antara perkataan dan perbuatan itu harus menjadi ciri khas orang-orang yang hidup terintegrasi. Selanjutnya, Jhon Poulton, yaitu mantan penasihat Uskup Agung dalam bidang penginjilan mengatakan, “Kesaksian yang paling efektif berasal dari mereka yang mewujudkan hal-hal yang mereka katakan. Mereka adalah perwujudan dari pesan mereka sendiri. Orang Kristen harus konsisten dengan perkatan mereka sendiri ... apa yang dikomunikasikannya pada dasarnya merupakan keaslian pribadinya”.[3] Maksudnya, pada dasarnya perkataan seseorang itu mencerminkan kepribadiannya.

Lalu jika demikian apa sebenarnya integritas itu? Integritas berasal dari bahasa Inggris, yaituIntegration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Kemudian digunakan juga dalam dunia matematika yang kita kenal dengan “bilangan integral” atau bilangan bulat. Dalam dunia komputer juga ada istilah Integral Data Type” yang menunjuk kepada tipe data apapun yang juga merepresentasikan bilangan bulat itu sendiri. Menurut Jonathan Lamb kata “integral” adalah sebagai hal yang sangat mendasar atau sangat penting untuk keadaan yang lengkap, yang utuh, yang tidak kurang, dan menyeluruh.[4] Maka dalam konteks itu juga kita harus memahami makna kata integritas itu sendiri, yang menunjuk kepada eksistensi manusia seutuhnya, yaitu antara perkataan dan perbuatannya harus selaras dan diterapkan dengan tepat.

Dengan kata lain, jika perkataan diutamakan, tetapi mengabaikan tindakan, maka itu tidak masuk dalam kategori integral atau kebulatan atau keutuhan dari manusia itu sendiri, melainkan sebaliknya, yaitu ketimpangan atau keganjilan. Apa kaitannya dengan visi dan misi? Seorang pemimpin yang memiliki kualitas integritas pastilah tidak merancang visi dan misi hanya untuk menuntut orang lain supaya mampu melaksanakannya, sementara dirinya hanya tahu bersih dan tidak bisa memenuhi tuntutannya sendiri. Melainkan, ia sendiri juga harus hidup menyatu di dalam integritas itu sendiri. Jika tidak, maka tidak mungkin kepemimpinannya berdampak baik pada bawahannya dan kedudukannya. Artinya, seorang pemimpin yang memiliki karakter dan kebiasaan buruk yang demikian, maka ia sebenarnya adalah seorang pemimpin yang mengalami krisis integritas atau lemahnya kualitas integritas yang dimilikinya. Lebih jauh dari itu sebenarnya, ia tidak mengerti ke mana arah dan tujuan kepemimpinan.

b.        Apa itu kepemimpinan?

Sebelum kita berbicara lebih jauh mengenai kepemimpinan, maka ada baiknya kita melihat beberapa pendapat para pakar kepemimpinan berikut ini: (1). Menurut George R. Terry (1998), kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan; (2). Ordway Tead (1929), kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang memungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain menyelesaikan tugasnya; (3). Katz & Kahn (1978), kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi; (4). William G. Scott (1962), kepemimpinan adalah sebagai proses mempengaruhi kegiatan yang diorganisir dalam kelompok di dalam usahanya mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan; (5). James M. Black (1961), kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain supaya bekerja sama di bawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan tertentu. Dan masih banyak lagi pendapat para pakar lainnya tentang kepemimpinan.

Jika disimpulkan beberapa pendapat di atas, maka sebenarnya kepemimpinan itu adalah suatu “seni”. Artinya, setiap orang memiliki cara dan gaya kepemimpinan tersendiri, tetapi mengarah pada sasaran, goal atau tujuan bersama.[5] Meskipun demikian, pelaksanaannya sangat mengenakan kepengaruhan dan memberikan bimbingan kepada bawahan, sehingga dari pihak yang dipimpin itu timbul kemauan kepercayaan, respek dan kepatuhan serta ketaatan yang diperlukan dalam menunaikan tugas-tugas yang diembankan tanpa banyak menggunakan waktu. Melainkan, dengan banyak keserasian antara banyak yang menjadi objek kelompok atau apa yang menjadi kesatuan untuk mencapai sebuah sasaran. Intinya, seorang pemimpin harus dapat memahami dengan jelas, apa yang ingin dan harus ia capai; mengetahui dengan tepat apa yang mesti ia lakukan untuk mencapainya; dan memiliki keterampilan untuk mengatur pelaksanaannya.

Selanjutnya, dalam menjalankan fungsinya seorang pemimpin juga harus memiliki kualitas hidup, yakni mengutamakan nilai-nilai moral/ moril/ mental maupun kecakapan yang tinggi, motivasi dan etiket yang baik, serta sifat-sifat kreatif, aktif, inovatif, konsumtif, berwibawa, bijaksana dan dinamis. Itulah sebabnya, seorang pemimpin harus benar-benar dapat menjadi teladan, dalam menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan (kebenaran), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Maka dari itu, integritas dalam kepemimpinan yang visioner adalah hal sangat penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin.

c.         Apa itu visi?

Dalam bahasa Ibrani visi adalah házôn: “vision” atau penglihatan, atau bayangan “of a great future”, atau “impian yang besar”, atau harapan yang besar akan sesuatu yang lebih baik di masa mendatang (Yesaya 1:1). Dapat dikatakan, bahwa hal itulah yang menjadi dasar atau pondasi yang kokoh yang membuat nabi Yesaya bersedia menerima panggilan Tuhan atas dirinya. Nabi Yesaya sangat sadar bahwa panggilan Tuhan atas dirinya bukanlah pekerjaan yang ringan. Sebagai manusia tentu ia memiliki kekurangan dan kelemahan sama seperti kita saat ini. Bahkan dengan jujur ia mengakui kelemahannya bahwa ia adalah seorang yang najis bibir karena tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir (Yesaya 6:5). Kata yang diterjemahkan dengan najis adalah tame': “unclean”, “kotor/ tak bersih”. Yesaya menyadari bahwa dirinya tidak pantas dan tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Tetapi kenapa Tuhan mau memakai Yesaya?

Pengakuan nabi Yesaya atas ketidaklayakannya memperlihatkan, bahwa ternyata pemimpin yang layak bukanlah pemimpin yang tanpa cacat. Karena pada dasarnya tak seorang pun yang sempurna seratus persen. Hanya saja dalam perjalanan hidupnya, ada yang serius dan bersedia sepenuhnya membereskan masa lalunya yang kelam, tetapi ada juga yang tetap mengeraskan hatinya. Inilah juga yang membedakan kepemimpinan Daud dengan Saul, kehidupan Petrus dan Yudas. Sekali lagi, Tuhan memakai Yesaya bukan karena ia tanpa cacat, tetapi karena ia bersedia membangun sebuah relasi yang harmonis dengan Tuhan. Hal itu ditegaskan lewat kalimat “namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semseta alam”. Perhatikan kata yang diterjemahkan LAI dengan “semesta alam” adalah kata tsaba'ot dari kata dasar tsaba' (NIV menterjemahkan “Almighty”. Sedangkan KJV, NAS dan RSV menterjemahkan “of hosts” (penghuni). Sebenarnya jika diterjemahan secara harfiah: “tentara, perang atau peperangan” (army, war or warfare). Jika demikian apa hubungannya dengan panggilan nabi Yesaya?

Penggunaan kata “tsaba'ot di atas bukanlah tanpa alasan. Kalau kita melihat konteks pada masa Yesaya dipanggil Tuhan untuk memberitakan firman-Nya, maka sebenarnya pengertian kata itu menjadi sangat jelas. Pada masa itu para pemimpin[6] politik merasa aman dan nyaman dengan masa-masa kejayaan, kemakmuran dan keberhasilan mereka di bidang sosial politik dan ekonomi. Fohrer mengatakan, “before the Syiro-Efhraimite war he (Isaiah) is concerned mostly with the internal situation in Judah following a period of considerabel political and economic prosperity”.[7] Ini memperlihatkan, bahwa Yesaya pun sempat menikmati masa-masa kejayaan dan kemakmuran Yehuda pada saat itu. Peralatan perang pun lengkap, sehingga bangsa-bangsa sekitar Yehuda seperti Filistin, Babel Hamat, Tirus, Biblos, Damsyik hingga Gaza dan Wadi Mesir pun takut dan tunduk.

Tetapi sayang, di balik kejayaan, kesuksesan dan kemakmuran itu ternyata kehidupan umat dan para pemimpin politik, ekonomi dan keagamaan Yehuda sangat bobrok. Penyalahgunaan kekuasaan dan kepemimpinan mencuat. Berbagai macam tindakan kekerasan atau penindasan, pemerasan, korupsi dan tindakan kelaliman lainnya yang mereka lakukan berkecambuk di tengah-tengah situasi kemakmuran yang ada. Misalnya, penindasan yang dilakukan dengan cara merampas hak-hak orang miskin (awen)=trouble, sorrow, wickedness (lih. 1:13; 10:1; 29:20; 31:2; 32:6); Penindasan secara fisik di tempat kerja (nagas)= to press, drive, oppress, exact lih. 3:5, 12; 9:3; 14:2; 29:13); Penindasan yang dilakukan dengan berbagai macam tekanan atas masyarakat lemah (lemah secara hukum maupun ekonomi dan politik (lachats)= to press, oppress (lih. 19:20; 30:20);

Selanjutnya, penindasan yang bersifat memperlakukan orang lain secara tidak adil (“aon” =iniquity, guilt, atau punishment of iniquity (lih. 14:21); Penindasan yang bersifat pemerasan (osheq)=oppression, extortion lih. 30:12); Penindasan yang bersifat kasar dan bahkan hingga menyebabkan kematian (mispach)=bloodshed, outpouring (lih. 5:7b), hal itu semakin jelas ditegaskan oleh kata (tsa`aqah)= a cry, outcry, cry of wailing, call for help); Penindasan yang dilakukan secara kasar dan tidak ramah yang menyebabkan orang lain menjadi menderita, miskin atau ketiadaan dan ketakutan (tsar)= straits, distress, dread, want (lih. 5:30; 23:1, 5, 8, 15,17; 30:20); dan penindasan secara psikologis atau penindasan yang menyebabkan orang lain terhina, dipermalukan dan direndahkan (anah)=answer respond, be humble bnd. Septuaginta/ LXX menterjemahkan (anteste)= set oneself against, oppose, resist, withstand). Sedangkan istilah korupsi menggunakan kata (sahat)= be marred, spoiled, ruin, corrupt. Kata (sahat) sendiri muncul tujuh kali dalam proto Yesaya: pasal 1-39 (tidak termasuk deutero (40-55) dan trito Yesaya (56-66).

Secara manusia, dengan keadaan dan situasi yang demikian nabi Yesaya sebenarnya juga takut untuk menyampaikan kebenaran firman Tuhan. Tetapi kata “tsaba'otdi atas menegaskan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan jika kita melibatkan Tuhan. Selanjutnya, kata “tsaba'ot juga memperlihatkan bahwa Tuhan sebenarnya tidak hanya menyampaikan visi-Nya kepada Yesaya, tetapi Ia juga hidup di dalam visi-Nya, yaitu menyertai pemberitaan Yesaya untuk memerangi kebobrokan hidup umat Tuhan saat itu.

Kebobrokan hidup yang dinikmati oleh para pemimpin Yehuda menjadi tugas besar dan berat yang harus dibenahi dan diluruskan oleh Yesaya. Pemimpin politik dan pemimpin agama bekerja sama merampok harta warisan yang dimiliki oleh masyarakat lemah dan miskin. Bahkan tidak sedikit dari golongan “kapitalis” itu yang menjadi tuan tanah hasil rampasan atas hak-hak orang miskin dan lemah. Kemudian mereka juga mempekerjakan orang miskin dan lemah secara kasar dengan upah yang rendah (lih. kata “aniy = poor, afflicted (kaum miskin, orang yang melarat, menderita): 3:14; 10:2, 30; 14:32; 26:6; 32:7). Bahkan Gottwald berpendapat bahwa studi kata “aniymemperlihatkan bahwa banyak dari para pekerja miskin dan lemah itu yang tidak diberi upah sama sekali, tetapi dipekerjakan secara kasar sama dengan buruh kasar atau budak.[8]

Jika dikaitkan dengan konteks kita saat ini, maka sebanarnya tak ada bedanya dengan konteks pada masa nabi Yesaya. Para pemimpin politik tidak lagi menjadi teladan dan pejuang atas hak-hak orang lemah dan miskin. Terlebih khusus apa yang dialami oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat, yakni tanah warisan nenek moyang kini telah banyak yang berpindah tangan dan menjadi hak milik orang “asing”. Saat ini kita diperhadapkan dengan realita kehidupan yang serupa dengan masa yang pernah dialami oleh Yesaya saat itu. Kalau bukan kita yang memperjuangkannya, dan membenahinya maka siapa lagi? Visi yang Tuhan berikan kepada Yesaya adalah visi yang sama yang Tuhan berikan kepada kita saat ini. Karena itulah integritas menjadi hal yang sangat penting, yang dapat menuntun kita dalam menjalankan visi-Nya. Visi yang Tuhan berikan kepada kita harus diterjemahkan dalam konteks kita saat ini. Kita adalah para calon pemimpin di masa depan yang membutuhkan integritas untuk menjalani kepemimpinan yang visioner seperti halnya yang dilakukan Yesaya atas umat Israel di Yehuda.

Itulah sebabnya, dalam dunia kepemimpinan integritas untuk menjalankan visi dan misi yang terarah dan tepat sasaran. Kita harus mengikuti perkembangan jaman yang ada. Karena bagai mana pun, maju mundurnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tanggung jawab kita bersama. Hanya mereka yang sungguh-sungguh menanamkan integritas di dalam kepemimpinan yang visionerlah yang sanggup melihat jauh ke depan, yakni membayangkan seperti apa kehidupan di masa mendatang. Jangan biarkan orang lain memandang kita dengan sebelah mata, atau menjadikan kita sebagai warga negara kelas dua atau anak tiri.

Charles Handy, seorang mahaguru bisnis pernah mengungkapkan statement demikian: Seorang pemimpin haruslah menjalani kehidupan yang memperlihatkan visinya. Sebuah kalimat pendek dan sederhana, tetapi sarat dengan makna. Visi yang besar harus disertai misi yang besar pula. Apa itu misi? Misi adalah suatu instrument untuk mencapai visi. Seorang pemimpin yang visioner harus senantiasa hidup di dalam visi dan misinya. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak hanya bisa merancang pernyataan visi atau misinya, melainkan ia juga harus bisa menjalaninya. Seharusnya inilah yang membedakan kepemimpinan kristiani dan kepemimpinan sekuler. Tetapi realita yang ada justru memperlihatkan sebaliknya. Mengapa? Karena visi sering dilihat sebagai formalitas belaka. Maka tidak heran jika kepincangan sosial politik, ekonomi dan keagamaan merambat, menjelajahi hampir seluruh sisi kehidupan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang tidak hidup menyatu di dalam visinya akan mustahil dapat menghasilkan suatu misi yang hidup pula. Sebaliknya itu adalah awal terbentuknya jiwa kepemimpinan seorang pecundang, pengecut dan penghianat.

Pemimpin yang memiliki integritas pasti memiliki visi dan misi yang jelas, terarah dan memungkinkan keterlibatannya di dalam kepemimpinan itu sendiri. Itulah yang dimaksudkan dengan pemimpin yang visioner, yaitu pemimpin yang melihat jauh ke depan, yang rasional dan visibel untuk direalisasikan atau diwujudkan. Penglihatan yang jauh ke depan itu tidak ditumbuhkan secara paksa, tetapi ia tumbuh sendiri dari berbagai pengalaman, intelektualitas, etiket dan moral baik yang ditanamkan dalam hidup kesehariannya, dan itulah yang disebut dengan integritas.

Kita telah melihat situasi sosial politik, ekonomi dan keagamaan yang sangat bobrok pada masa pemberitaan nabi Yesaya. Para pemimpin tidak lagi menjadi pemimpin yang sesungguhnya. Penyalahgunakan kekuasaan telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Tempat ibadah kerap dijadikan mesin politik para “kapitalis”. Orintasi kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada kebenaran firman Tuhan, melainkan pada kekuasaan itu sendiri. Bukankah situasi dan kondisi serupa juga yang melanda bangsa Indonesia saat ini? Korupsi, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, kemiskinan, premanisme dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya bertumbuh dengan subur di negara kita. Salah satu penyebab semuanya itu adalah karena rendah dan miskinnya integritas seorang pemimpin kita. Mereka tidak lagi hidup di dalam visi dan misi yang telah ditetapkan bersama dan untuk kepentingan bersama. Tuhan telah memperlihatkan semuanya kepada nabi Yesaya, tetapi juga kepada kita saat ini. Bahkan, pertanyaan yang sama juga telah Tuhan ajukan kepada kita, "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Kini Ia menunggu jawaban kita untuk mengatakan “Ini aku, utuslah aku!


d.        Beberapa kesimpulan:

1.      Dalam menjalankan roda kepemimpinan, relasi seorang pemimpin dengan Tuhan sangat penting.

2.      Seorang pemimpin harus mengenal siapa dirinya. Dengan demikian ia mengerti tujuan pokoknya, mengerti apa tugas pokonya dan mengetahui sejauh mana kemampuan dan apa kelemahannya.

3.      Seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang luas tentang eksistensi manusia seutuhnya. Dengan demikian ia menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan pertolongan mereka terutama para bawahannya untuk menangani setiap permasalahan yang menyangkut hak dan kepentingan publik.

4.      Seorang pemimpin harus selalu bersikap komunikatif dalam arti yang tulus, ikhlas, benar dan sangat memperhatikan kualitas kata-kata yang digunakan. Dengan demikian, ia tidak menjadikan dirinya manusia setengah dewa, yaitu merencanakan hal-hal yang tidak mungkin dilakukannya.

5.      Seorang pemimpin harus peka dengan keadaan, cepat tanggap, selalu percaya diri dan optimis dalam segala situasi. Bahkan sesulit apapun situasinya ia tetap melangkah dengan tenang, teduh dan bijaksana. Walaupun sebenarnya ia merasakan apa yang dirasakan bawahannya. Misalnya dalam hal pengambilan keputusan.

6.      Seorang pemimpin harus memiliki sikap pengendalian emosional, supaya ia dapat merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan bawahan maupun masyarakat luas tentang sebuah krisis. Karena itu, kecerdasan emosional itu sangat dibutuhkan, guna mengantarkan seseorang pada kesuksesan.

7.      Seorang pemimpin harus selalu belajar menepati janji, meski ada beraneka-ragam perubahan, tetapi ia harus tetap konsisten dan tetap bisa diandalkan. Karena kemampuannya dalam menepati janjilah dirinya tetap menjadi andalan, panutan, teladan dan jalan yang patut diikuti. Kemampuan menepati janji adalah lahir dari kesetiaan terhadap diri sendiri, terhadap orang lain dan terlebih kepada Tuhan, dan dari situlah lagi akan lahir sikap solidaritas.

8.      Seorang pemimpin harus berani jujur, mengakui dan mengukur sejauh mana kapasitas dan keterbatasan pengetahuannya.

9.      Seorang pemimpin juga harus berani mengakui kekeliruannya dan memiliki tekat baik untuk memperbaikinya. Artinya, setiap masukan adalah penting, yang dapat menuntunnya menemukan jalan lurus menuju kebijaksanaan.

 
e.         Refleksi

Nabi Yesaya di panggil Tuhan untuk menyampaikan kebenaran firman-Nya dalam situasi dan kondisi yang tidak mudah. Tuhan memberikannya visi atau penglihatan mengenai realita kehidupan umat Israel di Yehuda saat itu yang sangat pelik dan rumit (complicated). Para pemimpin politik dan agama tidak lagi menjadi teladan yang harus dijadikan panutan. Mereka hidup menikmati kebobrokan hidup, korupsi, kekerasan, ketidakadilan, berbagai macam penindasan dan singkretisme yang mereka lakukan. Inilah tantangan terberat bagi nabi Yesaya. Meskipun demikian, ketika Tuhan bertanya kepadanya: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?", maka jawab Yesaya adalah “Ini aku, utuslah aku!

Jika kita perhatikan baik-baik dua kalimat tanya yang dihubungkan oleh kata “dan”, maka yang pertama menyiratkan makna bahwa pada saat itu “tidak ada lagi seorang pemimpin yang berjalan lurus di bawah pengamatan Tuhan dan mendengarkan suara-Nya”. Semuanya telah menyimpang dari kebenaran-Nya. Kedua menyiratkan makna, bahwa “tidak seorang pun yang mau pergi menyampaikan kebenaran firman-Nya”. Mengapa? Karena para pemimpin telah merasa aman, nyaman dan tenang menikmati masa kejayaan dan kemakmuran. Sehingga mereka tidak lagi merasa membutuhkan Tuhan. Dalam keadaan itu, Yesaya memberanikan diri untuk mengatakan “Ini aku, utuslah aku!” Dalam jawaban Yesaya tersirat makna bahwa ia bersedia berjalan di bawah pengamatan/ pimpinan Tuhan. Artinya, Yesaya menjadikan Tuhan sebagai sentral kepemimpinannya, dan itulah esensi terdalam dari integritas kepemimpinan Yesaya. Dalam konteks itulah Eka Darmaputera mengatakan, bahwa kepemimpinan manusia harus mencerminkan kepemimpinan Allah, yaitu yang menghidupkan dan menghidupi, bukan yang menindas, karena manusia adalah Gambar Allah (Imago Dei).[9]

Seharusnya kita mau belajar dari Yesaya, yang tetap konsisten hidup di dalam visi yang Tuhan berikan. Kekonsistennannya itulah yang menjadikan dirinya menjunjung tinggi integritas dalam kepemimpinan yang visioner dengan berjalan di bawah pengamatan Tuhan. Kepemimpinan tanpa integritas adalah sama dengan orang yang mendirikan rumah di atas pasir, yakni tinggal menunggu badai datang untuk merobohkan dan menghancurkannya.[10] Sehebat apapun kepemimpinan seseorang, jika ia mengabaikan integritas, maka cepat atau lambat kepemimpinannya akan hancur.

Integritas adalah salah satu alat Tuhan untuk menuntun setiap orang menemukan kebenaran-Nya. Karena itu, membangun relasi yang baik dan harmonis dengan Tuhan harus menjadi tujuan utama dalam menjalankan roda kepemimpinannya yang diemban. Dengan demikian dapat menjadi berkat bagi banyak orang. Integritas adalah karunia yang Tuhan titipkan kepada setiap orang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika integritas adalah titipan, berarti ada saatnya ia akan diambil oleh-Nya dari pada kita. Karena itu, jangan pernah mengabaikan integritas dalam sepanjang hidup kita.


KEPUSTAKAAN

Alkitab:
-          Bible Works 7
-          LAI TB 2008.

Buku:
Fohrer, Sellin. Introduction to the Old Testament. Nashville: Abingdon Press, (ed. 4), 1978.

Gottwald, Norman K. The Hebrew Bible – A Socio – Liteary Introduction. Philadelphia: Fortress Press, 1985.

Lamb, Jonathan. Integritas – Memimpin di Bawah Pengamatan Tuhan. Jakarta: Perkantas – Divisi Literatur, 2008.

Poulton, John.  A Today Sort of Evangelism. Lutterworth, 1977.

STT Jakarta. Kepemimpinan Kristiani – Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, 2001.

Westermann, Claus. Handbook To The Old Testament. Augsburg: Publishing Hous, 1976.

Surat Kabar:
Tribun Pontianak–Spirit Baru Kal-Bar, SBY Kuasai Seluruh DPD – Pimpinan Tandatangani Pakta Integritas (edisi 189 tahun V - Senin, 11 Februari 2013). Pontianak: Kompas Gramedia, 2013.



[1] Tulisan ini pernah diseminarkan oleh penulis di STT Abdi Wacana Pontianak pada hari Sabtu, 16 Februari 2013.
[2] Jhon Stott, dalam Jonathan Lamb, Integritas – Memimpin di Bawah Pengamatan Tuhan (Jakarta: Perkantas – Divisi Literatur, 2008), 15
[3] John Poulton, A Today Sort of Evangelism (Lutterworth, 1977), 60-61, 79.
[4] Baca Jonathan Lamb, Integritas..., 25-26
[5] Pendapat senada juga dikemukakan oleh Joko Widodo mengenai gaya kepemimpinan Ahok yang akrab disapa Basuki itu marah saat perwakilan dari PT. Honda Pluit, Jakarta Utara yang meminta keadilan atas Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) mendatanginya pada Senin, 17 Desember 2012 malam.
[6] Yesaya 1:1 dengan sangat jelas menyebutkan raja-raja atau para pemimpin politik saat itu, yaitu Uzia (783-742 SM), Yotam (750-742 SM. sudah berperan, tapi baru dilantik tahun 742-735 SM.), Ahas (735-715 SM.) dan Hizkia (715-686 SM.). Tetapi puncak kebobrokan hidup umat Israel adalah pada masa pemerintahan raja Ahas, yaitu penindasan, korupsi dan sinkretisme berkembang dengan pesat.
[7] Sellin-Fohrer, Introduction to the Old Testament (Nashville: Abingdon Press, ed. 4, 1978), 66
[8] Lih. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible – A Socio – Liteary Introduction (Philadelphia: Fortress Press, 1985), 377, 380; bnd. Claus Westermann, Handbook To The Old Testament (Augsburg: Publishing Hous, 1976), 136.
[9] Eka Darmaputera dalam Kepemimpinan Kristiani – Spiritualitas, Etika, dan Teknik-teknik Kepemimpinan dalam Era Penuh Perubahan (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, 2001), 4-6
[10] Kesadaran akan peningnya integritas juga dirasakan oleh para pemimpin Partai Demokrat (PD), yakni sebanyak 33 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) se-Indonesia menandatangani Pakta Integritas (PI). Baca Tribun Pontianak – Spirit Baru Kal-Bar  - edisi 189 tahun V - Senin, 11 Februari 2013 (Pontianak: Kompas Gramedia, 2013), 1 dan 7