Sabtu, 14 April 2012

"DAMAI SEJAHTERA BAGI KAMU!"


Oleh: Sugiman

"Damai sejahtera bagi kamu!". Demikianlah bunyi kalimat Yesus versi Injil Yohanes ketika Ia menjumpai para murid-Nya pada malam hari minggu pertama setelah kebangkitan-Nya. Sebanyak tiga kali Yesus mengungkapkan kalimat sama tetapi dengan penekanan yang berbeda (Yoh. 20:19, 21 dan 26). Dalam bahasa aslinya (Yunani) berasal dari frasa “Eirene humin” Peace be with you! (terj. NAS, NIV dan RSV). Ketiga kata (Eirene = damai) yang digunakan dalam bentuk nominatif, yaitu menunjuk pada sifat yang diperagakan atau diperlihatkan oleh Yesus di dalam situasi atau keadaan yang sebenarnya tidak damai bagi para murid. Betapa tidak? Berada di sebuah tempat yang tidak disebutkan namanya dengan pintu-pintu yang terkunci rapat memperlihatkan, bahwa situasi yang dialami oleh para murid Yesus adalah situasi yang tidak damai, tidak aman, mencekam dan menakutkan.

Dengan kata lain, berkumpul pada suatu tempat yang dirahasiakan, dengan pintu-pintu yang  tertutup dan terkunci rapat adalah tempat yang aman, nyaman dan damai sejahtera bagi mereka. Ini memperlihatkan kepada kita, bahwa betapa murid-murid Yesus merasakan ketakutan yang luar biasa terhadap orang-orang Yahudi. Mereka dikejar-kejar dan menjadi buronan orang-orang Yahudi. Karena mereka dituduh menyembunyikan atau mencuri mayat Tuhan Yesus oleh para penjaga kuburan Yesus yang mengetahui bahwa mayat Yesus telah menghilang (baca Matius 28:12-13). Selain itu, karena mereka adalah murid-murid Yesus yang adalah musuh dari orang-orang Yahudi, terutama dengan para imam kepala. Artinya, jika pemimpin sebuah kelompok yang satu bermusuhan dengan pemimpin kelompok yang lain, maka sudah pasti murid-murid juga dimusuhi. Menjadi murid sebuah kelompok berarti menjadi generasi penerus. Itulah sebabnya para murid Yesus menjadi buronan.

Seandainya Anda dan saya adalah salah satu dari murid Yesus saat itu, maka sudah pasti kita merasakan hal yang sama seperti yang mereka dirasakan. Karena jika tertangkap, maka hukuman cambuk dan bahkan hukuman mati seperti yang dialami oleh kedua penjahat yang disalibkan bersebelahan dengan Yesus pun dapat menimpa mereka. Sungguh, menyampaikan Kabar Baik atau kabar damai sejahtera seperti yang telah dilakukan oleh Yesus selama hidup-Nya di dunia saat itu menjadi pergumulan yang sangat berat bagi para murid-Nya. Artinya, ada konskuensi atau akibat yang harus ditanggung seorang pemberita damai sejahtera, yaitu siap dibenci seperti orang-orang Yahudi membenci Yesus, bahkan harus siap dan berani membayar harga yang sangat mahal jika diperlukan oleh Tuhan. Semahal apa harganya? Semahal darah Yesus yang telah dicurahkan di atas kayu salib di bukit Golgota (bukit tengkorak) 2000 tahun yang lalu.

Para murid Yesus tahu betul konsekuensi itu. Itulah sebabnmya mereka mengurung diri di sebuah tempat yang dirahasiakan alamatnya, dengan semua pintu yang telah terkunci rapat. Mereka merasa, bahwa jika Yesus saja ditangkap dan di bunuh oleh orang-orang Yahudi, maka apalagi mereka yang hanya manusia lemah, hanya pengikut yang tidak memiliki otoritas apapun seperti yang dimiliki oleh Yesus. Saya membayangkan, betapa ketakutannya para murid saat itu, hidup mereka bak telur di ujung tanduk, kedua lutut mereka gemetar, dengan wajah pucat, jari-jemari tangan mereka yang dingin seperti orang mati, mereka membuat lingkaran sambil berpegangan tangan dan berdoa kepada Tuhan supaya diselamatkan dari ancaman maut itu.

Kalau kita melihat ke masalalu, khususnya peristiwa kerusuhan Maluku-Ambon 19 Januari 1999 – Januari 2000. Ketakutan yang luar biasa dirasakan oleh banyak orang, keadaannya begitu mencekam. Masa depan kehidupan yang damai tidak dihiraukan. Karena itulah mayat-mayat manusia berserakan di berbagai tempat, masalahnya hanya karena perbedaan agama yaitu Islam dan Kristen.[1] Demikian juga dengan kerusuhan Sambas dan Sampit di Kalimantan Barat, atau kerusuhan Banjarmasin di Kalimantan Selatan, yang menyebabkan ketakutan yang sangat mendalam pada waktu itu. Pintu rumah tertutup sangat rapat, perempuan dan anak-anak tidak ada yang berkeliaran. Bahkan keluar untuk membeli garam dan gula saja tidak berani. Para Pendeta, vicaris, tenaga pekabar Injil lainnya dan jemaat saling mendoakan, berpegangan tangan supaya diselamatkan dari maut itu. Saya kira begitulah situasi dan kondisi yang dialami oleh para murid Yesus sebagai kelompok minoritas pada waktu itu. Begitulah realita kehidupan manusia.

Di dalam situasi yang mencekam, menakutkan dan tidak damai itulah Yesus menjumpai para murid-Nya. Saya membayangkan, betapa heran dan terkejutnya mereka melihat Yesus ada di depan mereka. Sebuah tempat yang sangat rahasia, dan semua pintu terkunci rapat, tetapi Yesus bisa masuk. Kehadiran Yesus begitu ajaib dan mencengangkan, karena dapat menembus rumah yang sudah terkunci dengan rapat. Secara tidak langsung kehadiran Yesus dalam ruangan dengan semua pintu sudah terkunci memperlihatkan, bahwa tidak ada satupun yang bisa menghambat pekerjaan Tuhan apalagi menghentikannya. Bahkan saya membayangkan, jika manusia berhenti menyampaikan Kabar Baik dari-Nya, Tuhan dapat menggunakan tembok, pintu, batu-batu di jalanan dan segala sesuatu untuk memberitakan Kabar Baik itu.

Sungguh, kebangkitan Yesus dari kematian telah menghidupkan kembali harapan yang nyaris punah. Darah-Nya yang mengucur deras di atas kayu salib telah menghidupkan jiwa yang mati. Lobang paku pada tangan-Nya dan lambung-Nya yang tertikam adalah bukti dari kasih yang abadi itu telah diberikan kepada manusia tanpa kecuali. Selama 33 tahun di dalam dunia yang kejam, Yesus telah mengajarkan kasih yang tanpa batas. Itulah sebabnya, kehadiran Yesus di dalam ruangan yang terkunci rapat, di dalam situasi yang mencekam, menakutkan dan tidak damai bagi murid-murid-Nya, Yesus mengatakan: “Damai sejahtera bagi kamu!”. Kalimat itu memperlihatkan, bahwa kebangkitan Yesus telah memberikan kekuatan baru, harapan baru, semangat baru, dan kehidupan yang baru bagi para murid saat itu. Artinya, kebangkitan Yesus telah mentransformasi kehidupan para murid-Nya secara total, guna menerapkan kehidupan yang damai sejahtera itu.

Melihat kehadiran Yesus di dalam ruangan yang terkunci rapat, dan melihat lubang paku pada tangan-Nya serta lambung yang tertikam itu para murid-Nya bersukacitalah karena telah melihat Tuhan (Yoh. 20:20, 25). Sukacita yang dirasakan oleh para murid-Nya memperlihatkan bahwa mereka telah mendapatkan kekuatan baru, semangat baru dan pengharapan yang baru, terlebih menjadi manusia yang telah diperbaharui oleh kebangkitan Yesus. Dalam konteks itulah Yesus mengatakan untuk kedua kalinya: "Damai sejahtera bagi kamu!" (Yoh. 20:21). Kalimat ini menyiratkan makna tentang kebahagiaan bagi mereka yang melihat melihat Tuhan dan menjadi percaya. Kebangkitan Yesus telah menjawab keragu-raguan para murid dan memberikan keberanian untuk memberitakan Kabar Baik yang Yesus perintahkan. Tetapi serentak dengan itu, kebangkitan Yesus juga telah memenangkan perkara manusia di hadapan pengadilan kuasa dosa dan maut. Artinya, Yesus telah menghapuskan dosa para murid dan dosa semua manusia tanpa kecuali. Hutang yang amat besar yang seharusnya dibayar oleh manusia, tetapi karena tak terbayar, bahkan seumur hidupnya pun manusia tidak akan pernah melunasi hutangnya, sehingga mau tidak mau, karena kasih-Nya semata hutang manusia dilunasi-Nya dengan darah-Nya yang mahal. Itulah sebabnya para murid sangat bersuka cita, karena telah melihat Tuhan.

Setelah mengatakan kalimat kedua di atas, lalu Yesus mentabiskan atau mensahkan para murid-Nya sebagai pemberita Kabar Baik yang telah mereka dengar dari Yesus, yang telah lihat secara nyata dan terlebih yang telah mereka alami secara pribadi ketika bersama-sama dengan Yesus. Sebagai manusia, tentu para murid tetap kuatir dan takut untuk memberitakan berita kasih dan damai sejahtera yang telah mereka alami secara pribadi. Itulah sebabnya, Yesus menghembuskan atau memberikan Roh Kudus kepada para murid-Nya, dengan harapan supaya mereka berbicara dan bertindak atas perintah dan otoritas Allah, dan terus hidup di bawah pengamatan-Nya. Yesus telah selesai mengerjakan pekerjaan-Nya selama 33 tahun. Kini giliran para murid-Nya yang harus melakukannya seperti yang telah Yesus ajarkan dan tanamkan di dalam hati mereka.  

Dalam situasi yang sama mencekam dan menakutkannya, di sebuah tempat yang sama, yang terkunci dengan rapat, yang tidak diketahui oleh orang-orang Yahudi, Yesus kembali menemui murid-murid-Nya yang sedang berkumpul, dan mengatakan kalimat yang sama untuk yang ketiga kalinya: “Damai sejahtera bagi kamu!” (Yoh. 20:26). Bedanya hanya, pada pertemuan yang pertama Tomas tidak hadir. Kalimat ketiga ini menyiratkan makna untuk mengingat kembali kepada para murid-Nya, bahwa tidak seorangpun atau apapun yang dapat menghambat pekerjaan Tuhan. Sekuat apapun pintu-pintu itu terkunci dan setebal apapun tembok itu dibuat, tidak akan dapat menghalangi-Nya kehadiran Yesus. Artinya, ketika Tuhan yang bekerja, maka tidak ada satupun yang bisa membendung aliran sungai-Nya untuk memadamkan api kejahatan yeng menyiksa hidup manusia dan yang membuat hidupnya tidak mengalami “damai sejahtera”.

Setelah mengatakan kalimat ketiga di atas, kemudian Yesus mendekati Tomas, salah seorang murid-Nya yang meragukan kebangkitan Yesus. Bahkan Tomas mengatakan: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." Perhatikan kalimat “sekali-kali aku tidak akan percaya”! Dalam teks aslinya (Yunani) berasal dari kalimat “ou me pisteuo”, NIV menterjemahkan I will not believe it; bandingkan dengan terjemahan KJV dan RSV: I will not believe. Itu artinya, sampai kapan pun Tomas tidak akan pernah percaya dengan perkataan murid-murid yang lain, termasuk perkataan Yesus yang menyatakan bahwa Dia akan bangkit pada hari yang ketiga sebelum ada buktinya. Tetapi Yesus menjawab keraguannya itu dengan sikap yang lemah-lembut, sangat tenang, teduh, santun, tentram dan damai sejahtera mengatakan: Tomas "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah" (Yohanes 20:27).

Saya membayangkan, ketika Tomas mendengar kalimat Yesus di atas, dia segera merebahkan diri, berlutut dan bersujud dengan muka sampai ke lantai, tersungkur dan menangis tersedu-sedu di depan kaki Yesus. Kemudian, dengan hati yang tulus, suara yang agak serak, air mata yang tak terbendung dan penuh penyesalan, serta berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama Tomas menjawab-Nya: "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yohanes 20:28). Sungguh, pengakuan Tomas atas kebangkitan Yesus telah melalui sebuah proses yang sangat panjang, yakni diawali dengan sebuah keragu-raguan kemudian diakhiri dengan kepastian, yang tersimpul dalam sebuah kalimat pendek, tetapi menyiratkan makna sebuah pengakuan yang sangat mendalam: "Ya Tuhanku dan Allahku!". Mendengar pengakuan Tomas di atas, kemudian Yesus menutup dialog itu dengan sebuah kalimat yang sarat dengan makna, yaitu: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." (Yohanes 20:29).

Kalimat penutup yang diungkapkan Yesus dalam sebuah dialog bersama murid-murid-Nya telah menyempurnakan kalimat, “Damai sejahtera bagi kamu!”. Itulah kalimat Yesus yang sangat menguatkan, menghibur, memberi semangat baru dan menghidupkan kembali harapan murid-murid-Nya karena situasi dan kondisi yang mencekam, menakutkan, terancam dan tidak damai. Secara tidak langsung, Yesus ingin mengatakan, bahwa kedamaian yang sesungguhnya bukan karena suasana yang tanpa penderitaan dan kejahatan. Tetapi di dalam situasi yang penuh penderitaan dan kejahatan yang sangat mencekam, mengancam dan menakutkanlah suasana damai itu harus diwujud nyatakan dalam kehidupan kita sehari dan itulah “Damai sejahtera” yang sesungguhnya.

Ingat! Tuhan tidak pernah berjanji bahwa penderitaan dan kejahatan tidak ada, tetapi Tuhan mengatakan, dalam situasi apapun Aku akan selalu menyertai kamu. Oleh sebab itu, mulai sekarang jangan pernah berdoa meminta hidup ini menjadi mudah, tetapi berdoalah supaya Anda dan saya menjadi pribadi yang kuat. Karena Tuhanlah sumber kekuatan itu. Dalam segala situasi dan kondisi yang kita hadapi saat ini, Yesus juga mengatakan kalimat yang sama kepada Anda dan saya, yaitu “Damai sejahtera bagi kamu!”. Karena itu, mulai saat ini terapkanlah hidup damai sejahtera itu! Mulai di dalam keluarga kita, dengan tetangga, dengan masyarakat luas dan dengan semua orang di mana pun kita berada.


[1] Makalah Sahabat Awam, Tragedi Ambon Vol. 54 (Bandung: Yayasan Bina Awam-Januari 2000), 1-2; bnd. Nurcholis Madjid, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2001), 94.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar